UNTUK KEDUA KALINYA, DIA PUN HADIR KEMBALI

Ketika usia mulai beranjak remaja, kepekaan hati pun mulai tumbuh menghasilkan warna keindahannya. Ketidak pedulianku pada wanita, berangsur hilang berganti sebuah kehendak untuk berbagi dan ingin memiliki.

Meskipun tentu saja waktu itu belum terpikir sedikitpun untuk membawanya ke mahkamah suci, namun rasa itu sudah berhasil membuat hidup ini mulai mengalami hari-hari penuh keresahan. Rasa cinta yang kian hari kian besar, membuat aktifitas sekolah menjadi tiada arah. Jalan Pikiran saat di kelas pun berlaga seolah menjadi seorang sutradara film Indonesia yang membuat cerita hanya untuk cinta. Seluruh gerak-gerik tubuh yang dihasilkan seakan hanya untuk menarik perhatian seorang wanita yang menjadi idaman. Setiap perkataan yang keluar seakan hanya untuk menjebak perhatiannya.
Berbulan-bulan diri ini terus terjerembab dalam palung rindu yang tak terurai. Beragam Ilmu-ilmu yang tertera di dalam buku pelajaran, seakan tiada berarti jika tiada dia di sisi. Tujuan hidup kala itu hanya dia, dan aku tak tahu, entah kemana yang lainnya ketika itu.

Meskipun rasa sakit, kecewa, resah, bahkan marah, sering menjadi kondisi yang pasti ada di dalamnya, tapi rasa itu terasa indah. Rasa itu menawan setiap insan, sehingga anak muda yang baru mengenalnya pun tiada yang luput dari daya pikatnya. Tiada yang sanggup menghindari pesonanya. Beribu lantunan music dan lagu pilu, mencoba menggambarkan penderitaan cinta, namun hal itu tidak lah menjadi sebuah peringatan yang mengendurkan minat orang untuk masuk ke dalamnya. Beragam buku novel telah diterbitkan untuk mengisahkan rasa kecewa saat menjalani cinta, bukan lagi menjadi rumusan rambu peringatan yang berarti mencegahnya.

Entah karena cinta adalah kekecewaan, entah karena cinta adalah penderitaan, entah karena cinta adalah penyesalan, atau apalah itu. Yang jelas, di kala sebuah lantunan sendu sedan sebuah lagu terlantun, dikala rentetan sebuah kata-kata puisi dan novel ketragisan cinta terbaca, dan di saat bioskop-bioskop dan layar televisi menyiarkan film-film kesedihan atas nama cinta, yang dicerna oleh sang pendengar, sang pembaca, dan sang penonton, bukanlah kisah bergenre horror; melainkan sebuah lukisan kisah yang indah, yang disebut romantic.

Seperti itulah suasana yang kurasakan saat itu. Nalar intelek dan hatiku tiada lagi berjalan saling mengingatkan. Beragam potensi daya cerna akal tak dapat mengganggu keberlangsungan suasana hati yang mendorong indera mata, telinga, bibir, tangan dan kaki berusaha untuk masuk dalam scenario cinta. Kedudukan Hati waktu itu seolah menjadi raja yang menaklukkan akal pikiranku.

Sangat sulit jika sekarang aku harus mencerna sebab musabab kejadian masa lampau itu. Bahkan jika terkait cinta, mungkin kejadian sekarang atau yang akan datang, bisa jadi merupakan situasi yang sebetulnya dalam keterjebakan di lobang yang sama. Mungkin karena cinta bukan untuk dirumuskan, tapi untuk dirasakan. Mungkin juga karena cinta bukan untuk diwaspadai, tapi untuk dijalani. Mungkin juga karena cinta bukan pelajaran, tapi penghayatan.

Meskipun begitu keadaannya, aku sadar bahwa haruslah ada jalan yang pasti untuk mengendalikan cinta. Agar ia tidak berlaku semena-mena ketika menguasai kita. Dan itu yang mesti dicari rahasianya, agar rasa yang sedang menggebu karena hadirnya kembali sosok bidadari masa lalu ini, tidak kembali melenggang liar di semak belukar yang menyimpan ranjau kesengsaraan cinta, yang sempat menderai air mata dan kepiluan.

Aku pernah sakit atas penolakannya yang filosofis. Kesakitan itu pernah membuat aku ber’azam diri untuk tidak memperjuangkan cinta lagi kepadanya. Tapi entah mengapa, di saat dia kembali hadir dan menebar pesona keindahannya, rasa sakit yang selama bertahun-tahun masih terngiang itu, seketika berganti rupa menjadi warna-warni cinta yang kembali bersemi. Kesakitan itu seolah telah ditelan bumi, hanyut oleh hujan sehari, meski akarnya yang tajam telah lama menghujam erat di elan pital hati ini.

Andai kau tahu di sana, sadarilah bahwa mungkin ini titik nadir hatiku. Ketajaman lakumu waktu dulu dalam mengiris perasaanku, belum cukup untuk membuat hati ini menolak kehadiranmu. Seperti cintanya seorang muslim kepada Tuhannya, meskipun harus nyawa dan kesakitan yang jadi pembuktian lewat jihadnya, itu akan dengan senang hati menjadi saksi.

Dan saat hanya cinta yang bisa bicara, hanya sebaris kalimat kepasrahan yang terucap dalam bibirnya . . .

Kini, Hanya kesadaranmu yang ku nanti menjadi penerang jalan hidup ini. Hanya kepekaan nuranimu yang ku tunggu di sini. Sebab aku tak kuasa menghindar lagi. Sebab kamu, logikaku tlah menjadi budak kuasa hati yang terus berujar puji dan harap kepada mu.


Bandung, 28 Maret 2010

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.