Apakah Berbaju Koko, Bersarung dan Berpeci Adalah Penampilan Resmi Untuk Shalat?

Sebagai makhluq yang tidak bisa lepas dari kekurangan dan keterbatasan, persepsi dan pemaknaan manusia sering kali tidak bisa lepas dari hasil pengamatan dan penghayatan yang bisa, atau pernah, mereka lakukan. Apa yang mereka pandang indah serta baik tidak bisa lepas dari apa yang pernah mereka hadapi dan ke sananya diyakini hal itu sebagai keindahan dan kebaikan. Pada akhirnya penggambaran, pencitraan, pemaknaan, terhadap sesuatu yang indah dan baik tersebut akan berkutat pada pengalaman yang pernah dirinya alami itu. Pengalamannya akan menjadi baro meter utama dalam menilainya. Kebiasaan yang telah mengurat-mengakar dalam sendi kehidupan sehari-hari biasanya akan masuk menjadi khazanah diri dalam arus kasus pemaknaan ini. Apa yang dipandangnya baik dan buruk sangat sulit untuk lepas dari cengkraman adat kebiasaan yang telah berjalan "biasa" dalam kehidupannya.

Ketika kita selaku orang muslim asia, lebih khususnya Indonesia, sudah terbiasa melaksanakan shalat dengan memakai pakaian berbajukan koko sebagai modelnya serta kain sarung sebagai pakaian bawahannya, maka penilaian layak dan tidaknya, sopan dan tidaknya, seorang hamba berpakaian saat melakukan ritual ibadah shalat, kebiasaan itu menjadi baro meter dalam menilainya. Dan tentu baro meter tersebut akan tidak digunakan untuk menilai baik buruknya seseorang berpenampilan saat menghadap presiden, hanya lantaran kebiasaan yang sudah biasa diterapkan saat menghadap presiden tidaklah dengan menggunakan pakaian koko, berpeci dan bersarung. Akibat pengaruh budaya dan kebiasaan itu, kebanyakan dari kita akan merasa berat hati tatkala kebiasaan tersebut pada suatu saat tidak digunakan atau dilanggar. Perasaan kita akan terganggu karena secara otomatis, tanpa berpikir panjang ini itu, rasa ketidak elokan kita untuk memandang dan menilainya akan segera hadir.

Kita mungkin masih ingat sebuah kejadian di tahun 2008 yang menggegerkan media masa saat itu, ketika salah satu band ternama “Ungu”, yang lagi booming dengan album religinya kala itu, yang karena lirik-lirik lagu bernafaskan religinya sangat menyentuh dan disukai banyak orang, kemudian mendapat kehormatan dari pihak pemerintah dengan diundangnya mereka oleh presiden untuk menghadiri acara kenegaraan di istana negara.

Yang paling menghebohkan pihak media selanjutnya adalah tatkala kemudian ternyata pada hari acaranya berlangsung, para personil Ungu itu malah dilarang masuk oleh pihak istana lantaran sebab mereka mengenakan pakaian yang dipandang tidak sopan, tidak layak, atau kesananya tidak keren, menurut penilaian pihak istana. Para personil band “Ungu” tidak diizinkan masuk ke ruang istana lantaran mereka mengenakan celana bolong-bolong di bagian lututnya, sementara rambut dipangkas dan disisir ala model gaul masa itu. Kejadian ini bagi saya menjadi cerminan nyata betapa persepsi manusia dalam memaknai dan memahami suatu hal memang lebih besarnya dipengaruhi oleh sudut pandang kebiasaan dirinya, kelompoknya, masyarakatnya. Bagi kelompok musisi mungkin stelan penampilan, pakaian, yang keren itu ya modelnya demikian, tapi lain halnya dengan penilaian komunitas lainnya.

Kejadian yang dialami band Ungu dengan istana negara tentu baru sebatas hubungan antara manusia dengan manusia. Lalu bagaimana nantinya apabila hubungan yang terjadi dengan hubungan kita dengan tuhan kita apabila hubungan itu serta merta hanya diukur dengan modal persepsi dari sudut pandang kita semata? Apakah bagi Allah sendiri pakaian koko dengan bawahan kain sarung adalah penampilan yang sangat disukai oleh-Nya saat hamba menghadap kepada-Nya? Sehingga ada beberapa kalangan yang justru menganggap pakaian demikian sebagai pakaian yang wajib dan rela tidak mau shalat sebelum pakaian tersebut tersedia? Padahal Allah sendiri mewanti-wanti kita bahwa bisa jadi persepsi kita dengan persepsi Allah berbeda? Bukankah Allah berpesan bahwa bisa jadi apa yang dipandang suka oleh kita malah justru yang Ia benci, dan apa yang kita benci jutru yang Ia sukai, bahkan bisa jadi apa yang kita sukai justru sebetulnya jelek bagi kita, dan yang kita benci justru baik bagi kita? “’Asya an takrahu syaian wahuwa khairun lakum, wa’asya an tuhibbu syai’an wahuwa syarrun lakum

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.