Harus Beda di Bidang Apa Kita dengan Mereka?

Saat pulang dari kampus, hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya. Sekedar untuk menunggu hujan reda, sejenak saya pun berteduh di sebuah saung yang ada di pinggir jalan. Di saung itu sudah ada seorang pemulung yang juga kebetulan sama-sama berteduh. Kemudian saya penasaran, ingin coba amati apa yang dikerjakan oleh seorang pemulung kala mengisi waktu senggangnya.

Sambil duduk-duduk si Emang dengan asyiknya menata dan mengepaki barang hasil pulungannya. Wajahnya terlihat bahagia sekali.

Melihat penomena itu, saya pun bertanya pada si emang. "Wah si emang kayanya lagi bahagia nih, lagi hasil besar ya mang?" kata saya sambil melihat-lihat barang hasil temuannya. Si emang pun dengan nada yang memang bahagia, menjawab sapaan saya itu. "Alhamdulillah Sep dinten ayeunamah rada lumayan.. hehe!. Melihat kebahagiaannya itu, sayapun menjadi terpancing juga untuk membalas roman kebahagiaannya, dan perbincangan itu pun kembeli hening.

Di sela keheningan perbincangan kami, si Emang terus melanjutkan aktifitasnya. Sementara saya merenungi hikmah apa sebenarnya yang dapat saya petik dari waktu senggang itu. Ditengah usaha mencari tema renungan itu, saya pun mengamati perilaku si Emang pemulung itu. Saya coba masuk pada pola pikir si Emang terhadap barang hasil cariannya. Dari sana kemudian saya mendapat gagasan mengenai apa sebenarnya yang harus menjadi pembeda antara saya selaku mahasiswa dengan si Emang yang pemulung itu.

Ilustrasi - Seorang kakek pemulung sedang mengepak hasil temuannya
Dari barang hasil temuannya yang mayoritas kertas dan buku-buku usang itu, saya menjadi terpikir kalau ternyata pola pikir saya dan si Emang memang berbeda. Ketika saya mendapati sebuah buku, lama atau pun baru, respon awal tentu sama dengan Si Emang, BAHAGIA. Namun apa yang akan dilakukan selanjutnya, tentu berbeda. Jika saya yang menemukan, maka yang terlintas dalam pemikiran saya adalah pertanyaan, apa yang ada di dalam buku itu, sehingga pada akhirnya saya pasti akan mencoba untuk membaca isinya. Namun Lain halnya dengan Si Emang pemulung, ia mungkin malah berpikiran berapa keuntungan jika buku itu dia jual, sehingga yang dia lakukan kemudian adalah mencoba menimbangnya, atau menawarkan pada orang lain untuk dijualnya.

Dari peristiwa tersebut saya mendapat hikmah mengenai harus apa sebetulnya peran saya agar beda dengan yang bukan saya. Harus apa yang dilakukan seorang yang mengenyam perguruan tinggi, dengan yang hanya lulus di bangku SD.

Secara pemikiran luhur, Apakah kita itu harus beda dari segi macam kerja? ataukah harus beda dari segi makna dan pemaknaan kerja?

Mari kita hati-hati dalam mamknai hidup, hati-hati memaknai peran diri, dan berhati-hati dalam mengambil pemaknaan. Jangan sampai hanya karena kita kuliahan, kemudian kita menjadi orang yang susah hidup karena tidak mau menggarap pekerjaan orang rendahan...

Semoga ke depan, banyak sarjana Indonesia yang lebih kreatif sehingga tidak lagi sebuah Keegoisan dan rasa JA-IM (Jaga Imej) menjadi akar masalah pengangguran yang dewasa ini selalu menjadi pemandangan mengenassemoga....
kan ....

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

1 comments:

  1. mana komentarnya ya???
    Ayo donks... beri jejak komentarnya... hehe

    BalasHapus

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.