MEMAHAMI EKSISTENSI DIRI SEORANG MU’MIN
Dalam surah at-Taubah, ayat ke 111, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
اِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اَنْفُسَهُمْ وَاَمْوَالُهُمْ بِاَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَيَقْتُلُوْنَ وَيُقْتَلُوْنَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِيْ التَّوْرَاةِ وَالاِنْزِيْلِ وَالْقُرْءَانِ, وَمَنْ اَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ, فَاسْتَبْشِرُوْا بِبَيْعِكُمُ الَّذِيْ بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَالِكَ هُمُ الْفَوْزُ الْعَظِيْمِ.
Artinya:
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang Mu’min baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam kitab Taurat, inzil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang leih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan yang demikian itulah kemenangan yang agung.” (Qur’an surah at-Taubah: 111)
Jika kita, yang telah mengaku bagian dari kelompok orang yang beriman kepada Allah, berkehendak untuk mencari hakikat dari kedudukan dan eksistensi dari diri dan harta kita maka ayat di atas telah menjelaskan secara gamblang bahwa ternyata diri beserta harta yang tengah kita gerakkan dan pergunakan ini tiada lain semuanya hanyalah milik Allah.
Seorang Mu’min yang telah mengakui posisi dirinya beriman kepada Allah, pada hakikatnya dia tengah melakukan jual-beli antara diri dan hartanya dengan Allah secara langsung. Dia tengah menukarkan jiwa dan hartanya dengan surga yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala janjikan.
Maka jika sudah demikian halnya, seorang manusia yang telah mengakui dirinya secara sadar bagian dari kelompok barisan Mu’min, jiwa dan raga yang tengah ia diami dan gerakkan selama ini tidak boleh dirasa sebagai sesuatu miliknya lagi. Jiwa dan raganya harus disadari betul sebagai milik Allah. Ia tidak boleh memperlakukan jiwa dan raganya sekehendak dirinya lagi. Tangan, kaki, mata, telinga, hidung, bibir, lidah, dan semua anggota tubuh yang ada dalam raganya itu tidak boleh dipergunakan semaunya lagi. Ia hanya boleh mempergunakannya jika yang menjadi pemilik tunggal raganya (yakni Allah subhaanahu wa ta’ala) memberi izin terhadapnya. Makanan tidak boleh seenaknya dimasukkan ke dalam perutnya, suara tidak boleh seenaknya diperdengarkan kepada telinganya, ucapan tidak boleh seenaknya dibicarakan lidahnya, kaki dan tangan tidak boleh seenaknya digerakkan, otak dan perasaan tidak boleh seenaknya dimasuki pemikiran dan perasaan. Ia harus selektif dalam memberikan asupan kepada semua bagian tubuhnya. Seorang Mu’min harus berusaha mencari tahu pergerakan apa saja yang diizinkan oleh Sang Pemilik Tunggal diri yang tengah ia pergerakkan. Aktivitas apa saja yang boleh ia lakoni, kegiatan apa saja yang diizinkan selama ia memperlakukan dirinya selama hidup ini. Itulah perlakuan yang harus ia jalankan, jika benar-benar ia menyadari hakikat dari kedudukan akad jual beli atau perpindahan hak kepemilikan jiwa dan raganya.
Karena jiwa dan raganya sudah ia sadari betul bukan lagi milik pribadinya, tidak heran apalagi berat hati kalau dia di suatu hari nanti jiwa dan raganya itu dipanggil oleh Sang Pemilik Tunggalnya untuk dipertaruhkan dalam membela Agama Sang Pemilik Tunggal itu di medan peperangan. Seorang Mu’min tidak akan lagi merasakan berat hati atau takut apabila nantinya jiwa dan raga yang tengah ia pinjam selama hidupnya itu harus dipertaruhkan hidup dan matinya di medan jihad fie sabielillah.
Begitu pula dengan harta yang tengah ia genggam. Karena harta yang ia pegang bukan lagi miliknya, maka dalam memperlakukannya tidak boleh seenaknya lagi ia pergunakan. Ia hanya boleh mempergunakannya selama Sang Pemilik Tunggal harta tersebut mengizinkannya. Seorang mu’min harus mencari tahu apa saja yang diizinkan dalam mempergunakan harta yang tengah ia pegang kini. Jiwa dan raga yang sudah bukan miliknya lagi itu, kini hanya boleh dipergunakan untuk mencari harta sesuai dengan profesi yang diizinkan oleh pemilik sahnya. Begitu pula harta yang dihasilkan dari profesi yang diizinkannya itu tidak boleh seenaknya ia pergunakan, karena hartanya itu pula sudah ia tukarkan dengan deposito yang lebih potensial menguntungkan lebih dari harta yang dihasilkannya, yakni Sorga tempat semua keni’matan berkumpul tiada batas ruang dan waktu di kemudian hari nanti.
Begitulah posisi mutlak dari eksistensi diri dan harta seorang manusia yang sudah mengakui dirinya bagian dari seorang Mu’min. Sekarang, sudahkah kita mengikrarkan diri secara tulus dan sadar untuk menukarkan harta dan raga kita dengan Surga yang paling berharga itu? Sudahkah kita termasuk ke dalam bagian orang yang beriman itu?
0 comments:
Posting Komentar
Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.