Potensi Belajar Autodidact Dalam Abad Institusi Pendidikan
Sebuah ilmu lahir, pada awalnya, dibidani dari usaha keras manusia memaknai dan mencerna hakikat suatu yang tengah dikajinya. Para penemu ilmu yang tersimpan di jagad raya ini adalah mereka-mereka yang belajar secara keras dengan kemandiriannya. Dari mereka lahir beragam hikmah yang sangat berguna besar bagi kehidupan manusia agar ditengah menjalankan roda kekhalifahannya ini mereka bisa lebih mudah berlaku arif bijaksana terhadap bawahannya. Dengan ilmu, para pengurus kehidupan tanaman (petani) bisa lebih mudah memahami sifat dan tabeat yang diurusnya, sehingga tanaman yang dikelolanya itu bisa memberikan balasan besar bagi dirinya sebagai bentuk terimakasih karena telah merawatnya secara baik. Jadilah para petani berilmu itu menjadi sosok petani sukses, sosok kholifah dibidang pertanian yang mampu mengelola bawahan(tanaman)nya. Dengan ilmu besi dan baja, seorang pandai besi (pembuat pisau, keris, cangkul, sabit, dsb.) bisa membuat beragam perkakas dengan mudah dan lebih baik kualitasnya, lebih arif dan adil dalam memperlakukan besi yang dikelolanya, sehingga tumbuhlah dia menjadi sosok khalifah yang membawahi perbesian yang sukses, yang mampu memakmurkan para besi dalam menguraikan potensi yang dimilikinya. Begitu juga yang dialami oleh para pengelola masyarakat, pengajar, pedagang, pandai batu, dan sebagainya. Dengan ilmu mereka mampu menjalankan propesinya dengan lebih baik.
Formalisasi ilmu pun lahir dari usaha keras para pemegang propesi pendidikan, yang menyimpan perhatian besar terhadap apa-apa yang dianggap paling memudahkan manusia mendapatkan pemahamannya terhadap hal yang akan dikajinya, didalaminya. Dengan usaha mereka itu maka lahirlah sebuah budaya baru. Budaya di mana seseorang tanpa harus bersinggungan langsung dengan objek kajiannya bisa tetap mendalami sifat dan karakter yang dimiliki objeknya itu. Seseorang yang menaruh perhatian besar terhadap sifat dan karakter perkembangan masyarakat, dengan adanya formalisasi pendidikan, ia masih tetap bisa mengkaji dasar-dasar dari sifat dan karakter masyarakat yang dikajinya itu tanpa harus bersinggungan langsung dengan mereka. Bahkan dengan memformalisasikan sifat dan karakter dasar setiap objek kajian berupa rumus-rumus yang telah dibakukan, bagi para pemerhati pendidikan, usaha manusia dalam memahami suatu objek kajian lewat rumus-rumus itu dianggap bisa lebih cepat mendalaminya dibanding dengan yang melakukannya secara langsung ke sumber kajiannya (autoditact).
Namun dalam perkembangan selanjutnya, banyak institusi pendidikan dan orang yang jadi peserta didik di dalamnya malah mengalami disorientasi tatkala menjalani dan masuk dalam instistusi pendidikan formal itu. Hal ini mungkin saja dikarenakan posisi institusi pendidikan yang dari waktu-kewatu terus mendapat tempat tertinggi di mata masyarakat maupun instansi perusahaan. Sehingga lambat laun, dengan posisinya yang baik itu, malah membuatnya terlena atau hanya dijadikan sebagai jembatan mudah bagi para penggerak dan penikmatnya untuk memperoleh tujuan yang diharapkan. Munculnya sifat itu pada akhirnya menimbulkan dampak yang bukan hanya menjatuhkan posisi institusi itu sendiri, melainkan juga menambah daftar kerugian yang tidak lumayan jumlahnya.
Dikarenakan dengan masuknya mereka ke institusi pendidikan akan lebih diprioritaskan oleh instansi-instansi terkait, kondisi itu malah dijadikan sebagai batu loncatan dalam meraih strata social atau image yang memudahkannya diterima bekerja pada instansi atau perusahaan. Pada akhirnya, tujuan utama diadakannya institusi pendidikan (mempermudah mendapat ilmu dan menjadi khalifah yang arif bijaksana) tidak lagi berjalan secara optimal. Kekecewaan dari berbagai instansi atau perusahaan seringkali muncul ke permukaan akibat dari realitas yang mereka temukan jauh dari harapan. Yang seharusnya mereka menerima para lulusan institusi pendidikan itu adalah mereka-mereka para tenaga ahli yang sudah kompeten dengan bidang yang dibutuhkannya tapi dalam realitanya mereka tetap tidak bisa diandalkan untuk memegang hal itu. Itulah salah satu alasan kenapa perusahaan-perusahaan yang ada sekarang malah bukan melihat ilmu apa yang dijadikan studi prioritas para calon pegawainya, tapi hanya melihat bagaimana pola pikir yang dimiliki mereka, dengan melihat sampai tingkat mana mereka bersekolah. Banyak para pekerja yang menempati posisi tertentu sebenarnya bukan lulusan dari institusi pendidikan terkait profesinya itu. Sarjana pertanian ada yang bekerja diperbankan, sarjana tehnik malah menjadi supir angkot, sarjana pendidikan malah menjadi pengusaha, dan sebagainya. Memang betul dalam kondisi sekarang pendidikan tidak bisa menjamin lulusannya untuk bekerja di bidang yang sama dan, jika melihat tujuan utama diadakannya institusi pendidikan yang dipaparkan di atas, jelas hal itu menjadi cerminan bahwa institusi pendidikan yang ada sekarang sudah tidak bisa diandalkan untuk mewujudkan cita-cita itu, karena sudah menciptakan kultur masyarakat yang kacau, tidak adil, tidak menempatkan sesuatu sesuai tempatnya, yang seharusnya hal itu bisa dihindari.
Apabila seorang lulusan keilmuan tertentu menduduki jabatan di luar bidang keilmuannya, maka sudah bisa dipastikan bahwa keberhasilannya dia itu berkat usahanya secara keras dan tertatih-tatih melakukan autodidact menekuni profesinya sekarang. Ditinjau dari sifat efinsiensi jelas kondisi semacam itu akan menimbulkan pemahaman bahwa lebih baik langsung saja dari awal melakukan aktivitas autodidact, karena pada ujung-ujungnya yang sekolah di institusi pendidikan pun akan melakukan aktivitas autodidact itu.
Terjadinya disorientasi dalam instansi penidikan (sekolah) akan mengakibatkan dampak yang amat fatal bagi setiap lini profesi yang ada, terutama apabila sudah lahirnya sikap skeptic atau tidak percaya terhadap institusi pendidikan. Perkembangan yang sifatnya negative ini jelas harus secepatnya kita tanggulangi dengan mencari alternative lain yang dapat memberikan cara lebih mudah bagi masyarakat luas dalam mendapatkan pengetahuan ilmu bagi kepentingan kekhalifahannya. Di sisi lain, jika toh pada kenyataannya alternative lain yang dimaksudkan itu belum didapatkan, maka kita harus memberikan ruang terbuka dan leluasa bagi para pencari ilmu yang tidak berhenti hanya karena menemukan realitas institusi pendidikan yang tidak bisa memberikan semua yang diharapkan para pendidiknya, dengan cara berjuang secara autodidact. Inilah jalan terbaik yang ditemukan para generasi Indonesia di masa-masa kebangkitannya. Para pemuda, para ulama, dan masyarakat kecil yang tidak mampu masuk ke institusi pendidikan yang ada karena keterbatasan pinansial dan karena kondisi institusi pendidikannya telah ditunggangi oleh misi-misi diluar ideology mereka, mereka terus melakukan pembelajaran autodidact yang mampu mengeluarkan mereka dari jeratan penjajahan yang selama tiga abad lebih telah menenggelamkan hak eksistensi dan potensi besar jiwa manusiawinya.
Di samping itu, agar masyarakat bisa siap menghadapi atau menempuh jalan autodidact ini, mayoritas masyarakat yang telah sekian lama dibesarkan dalam situasi instan akibat kemudahan teknologi dan produk-produk instan kebutuhan hidupnya yang lambat laun menanamkan dalam pribadi dan sikapnya untuk selalu mendapatkan hal serupa (instan) dalam segala lini kehidupannya, para pemimpin, para ilmuan, dan para pemerhati perkembangan ilmu dan pemerhati perkembangan masyarakat, harus juga berusaha keras memberikan jiwa baru pada masyarakat luas itu untuk kembali menanamkan sifat shabar, istiqamah dan ketekunan yang telah sekian lama memudar dan terkikis dari pribadi dan sikapnya. Mereka juga harus menyadarkan masyarakat luas akan pentingnya ilmu bukan sekedar untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya semata, tapi untuk tujuan luhur, tujuan yang mengusahakan manusia akan arti haikiki kehidupannya yang mulia, yakni mampu menjaga keseimbangan eko system kehidupan alam raya ini. Para pemimpin juga harus menyadarkan masyarakat umum akan hakikat ilmu yang sangat penting untuk dimiliki, sebab hanya dengan ilmu seseorang bisa tumbuh menjadi sosok manusia yang adil, arif dan bijaksana, yang lebih dekat pada Sang Penciptanya.
Sementara dari sisi segi professionalitas, setiap aktivitas membutuhkan sifat adil dan bijaksana dalam memperbesar dan meningkatkan kualitas yang diusahakannya. Sifat adil dalam usaha adalah menempatkan para tenaga ahli sesuai bidangnya. Dan apabila sifat adil telah diabaikan sehingga sampai pada, sebagaimana sabda Nabi saw.; sebuah urusan dibebankan pada yang bukan ahlinya, maka tinggal tunggulah kehancurannya, pasti itu terbukti, dan tidak akan ada seorang ahli manapun yang mau menentang sabda itu, lantaran memang tidak ada alasan kuat satu pun yang menunjang untuk melemahkan sabda itu. Sabda Itu merupakan inti dari sifat professional yang memang dibutuhkan oleh setiap lini kehidupan yang digeluti manusia.
Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa pada kondisi-kondisi yang seperti dihadapi oleh kita sekarang ini, di soal institusi pendidikan yang sudah mengalami disorientasi baik dari sisi institusinya maupun peserta didiknya, kedudukan aktivitas belajar secara autodidact menjadi alternative lain yang lebih menjanjikan bagi seseorang yang mendambakan ilmu pengetahuan untuk mendapatkan yang didambakannya itu. Karena perihal ilmu sendiri pada intinya bukan masalah institusi atau bukannya melainkan pencariannya yang sampai sang pencari mendapatkannya, dan bermanfaat bagi dirinya, di saat-saat menjalankan roda kekhalifahannya.
I'd like to thank you for the efforts you've put
BalasHapusin writing this website. I really hope to check out the same high-grade blog posts
by you later on as well. In truth, your creative writing abilities has inspired me to
get my own site now ;)
Here is my web-site Boom Beach Hack Tool
thanks :)
Hapus