Jalan Pulang

Jika mau berbicara tentang masa lalu, Panyileukan adalah nama tempat yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup saya. Baik dan buruknya perilaku, gagasan, usaha dan pengharapan saya di sana, semua itu adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri dari yang namanya kehidupan saya. Bermula dari sekedar tempat persinggahan untuk mengejar dan meraih mimpi-mimpi yang tinggi, hingga usaha mencari nafkah kehidupan, ikhtiar mewujudkan beragam ide, gagasan, keyakinan dan pengharapan pun akhirnya tertorehkan.

Sungguh tak terasa bahwa waktu terus mengalir pada samudera tempatnya berkumpul dan bermuara. Sembilan tahun perjalanan usia hidup saya telah dihabiskan di sana, di Panyileukan tempatnya. Tempat kedua yang paling lama saya singgahi setelah kampung kelahiran sendiri. Dari yang mulanya tak kenal hingga akhirnya menjadi teman, dari yang awalnya bukan siapa-siapa hingga menjadi kerabat dekat, semua terjadi di sana. Tak heran apabila di kemudian hari, Panyileukan dirasa tak ubahnya kampung halaman dan tempat kelahiran sendiri. Bahkan sampai pernah terbersit dalam pikiran ini bahwa bisa jadi saya tidak akan bisa lepas dari tempat itu untuk selamanya.

Namun apalah daya, perasaan dan pemikiran terkadang memang bukan cerminan kenyataan. Apa yang dirasa belum tentu sesuatu yang sebenarnya harus kita rasakan. Apa yang dipikirkan bisa jadi bukan yang seharusnya diterima. Keadaan yang tengah dijalani bisa jadi hanya hiasan semata, sementara nilai hakikinya bisa jadi adalah yang akan kita lewati nanti. Kita tidak bisa memastikan kesimpulan kisah kehidupan, sepanjang kehidupan itu belum mengakhiri kisahnya.

Namun hal itu bukan berarti kita tidak bisa mengetahui hakikat kita yang sebenarnya, sebab masa awal tempat kita bermula bisa jadi menjadi tolok ukur pasti buat kita untuk mengetahui siapa kita yang sebenarnya. Ada kalanya pikiran harus diberi luang untuk menerawang terbang ke masa silam, mengingat kembali titik mula awal kita melangkah. Ada kalanya ingatan harus kembali dibangunkan tatkala niat keras yang membatu itu nyatanya telah diselimuti lumpur kelupaan yang membenamkannya. Agar jangan sampai terjadi niat kuat di awal dulu hanya menjadi fosil yang tidak menjadi berguna apa-apa jika tidak diketemukan keberadaannya. Dan di akhir petualangan muhasabah diri itu ingatan saya terbangun untuk pulang. Pulang untuk kembali ke asal tempat saya bermula dibesarkan.

Lima bulan yang lalu, tepatnya pukul sebelas pagi di hari minggu lima januari 2014, saya melangkahkan kaki meninggalkan Panyileukan. Jika saja hati bisa diumpamakan memiliki mata, maka di kala itulah hati itu meneteskan air matanya. Bukan oleh karena rasa sedih harus meninggalkan tempat yang sudah lama didiami, tapi lebih diakibatkan oleh kenyataan bahwa ketika pulang itu nyatanya tidak banyak yang bisa saya bawa ke kampung halaman sebagai hasil usaha se-lama-nya ada di sana. Sembilan tahun bukan waktu yang sebentar untuk seseorang yang merantau berikhtiar. Rasa pilu tentu hinggap, melekat erat dalam sauasana kepulangan, di kala yang dihadapinya kala itu, yang mengantarkannya pulang hanya seorang supir yang baru dikenalnya semalam. Di kursi belakangnya hanya tumpukan beberapa dus-dus buku, buah dari kerja kerasnya. jumlah hasil yang sangat sedikit jika harus dibanding dengan lamanya waktu yang ditempuh. Tak ada teman dan keluarga yang ikut, hingga perjalanan pulang tak bisa diisi dengan candaan, obrolan, atau salam-salam perpisahan. Perjalanan yang sebentar namun terasa panjang jika diisi dengan suasana sunyi menembus jalan Sapan yang sepi.

Sandaran jok mobil menjadi tempat merebahnya tubuh saya, sementara kedua mata saya pejamkan, dan topi penutup kepala yang saya pakai sewaktu pertama kali menaiki mobil rentalan itu pun saya jadikan penutup muka. "Biarkan kesepian ini kuhabiskan saja dengan tidur" pikir saya menggumam sambil terpejam.

Namun sausana ngantuk tak datang-datang menyapa. Tidur yang diharapkan tak jua kunjung tiba. Terpejamnya mata hanya membuat pikiran terus berputar. Tak terasa air mata pun mengalir tanpa sungai di permukaan wajah yang tertutup topi. Keharuan seketika datang tak bisa terbendung, tatkala suasana kepulangan yang sunyi sepi itu oleh pikiran saya tak sengaja terbandingkan dengan suasana sepinya kepulangan seorang insan menghadap Tuhannya yang digambarkan oleh Rasulullah SAW.

Pikiran saya waktu itu bergumam "Jika kepulangan dari perantauan antar dunia saja sesepi, sesedih dan seharu ini, bagai mana dengan suasana ketika mati nanti? Jika saya mati dan amal shaleh saya hanya seperti tumpukan dus-dus buku yang sedikit dan tak seberapa harganya ini, jika malaikat penjemput nyawa saya bagaikan sopir rentalan yang tidak saya kenal dan baru dilihat sewatu deal-dealan keberangkatan tadi saja, sementara teman dan keluarga tak ada yang ikut menemani perjalanan ini, perjalanan pulang yang panjang tanpa ada percakapan dan canda tawa yang membahagiakan. Sementara di depan, sidang penghisaban yang besar tengah menanti saya untuk memperhitungkan antara lama waktu yang ditempuh dengan hasil yang diperoleh, yaa Allaah... pantaskah saya pulang?? Haruskah saya pulang ke haddapan-Mu nanti seperti ini??"

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.