Benarkah Krisis Ekonomi Jadi Faktor Dominan Gejolak Sosial di Indonesia, seperti di Eropa mengakibatkan 5 ribu warganya bunuh diri?

Sebuah berita yang dipublikasikan Kompas.Com tadi pagi, dengan mengutif isi berita the British Medical Journal yang dilansir pada hari Selasa (17/9/2013), menyebutkan hasil penelitian para ahli kesehatan dari Oxford University, bahwa krisis ekonomi yang melanda Eropa dan AS sejak tahun 2008 ternyata memicu aksi bunuh diri masyarakat yang hidup di belahan dunia tersebut. Mereka berkata sesuai data yang didapatnya bahwa angka kematian satu tahun setelah krisis ekonomi tersebut melanda Eropa dan AS, aksi bunuh diri menjadi kian melonjak. Pada tahun 2009 tercatat sebanyak 5000 jiwa meninggal diakibatkan aksi bunuh diri. Bahkan gejala psikis itu pun melanda Inggris juga yang mencatat angka kematian dengan sebab bunuh diri sebanyak 3000 jiwa di tahun yang sama.

Ini merupakan sebuah berita yang sangat mencengangkan bagi siapa pun yang membacanya. Apalagi jika faktor pemicunya itu hanya disebabkan oleh kondisi ekonomi mereka yang melemah. Sebuah kondisi yang tidak bisa difahami oleh mineset (pola fikir) kita yang hidup di Indonesia, Palestina, Mesir, dan negeri-negeri berpenduduk muslim lainnya.

Krisis ekonomi di Indonesia tahun 1998 tentu lebih parah kondisinya bila dibanding dengan krisis ekonomi yang dialami oleh Eropa tahun 2008 lalu.  Saya sekeluarga sendiri menjalani hidup di masa krisis 1998 hingga tidak bisa makan nasi yang layak. Lauk pauk berupa hasil tanaman dari kebun pun tidak bisa digoreng dengan minyak goreng karena harganya yang sangat tak terjangkau. Dan hal itu tidak terdengar sampai terjadi di Eropa. Tapi gejolak sosial hingga mengakibatkan bunuh diri di Indonesia pada tahun 1998 tidak separah itu. Begitu juga di Mesir, Suriah, Palestina, Irak, dan negeri-negeri Muslim yang tengah mengalami konflik perang, kondisi mereka yang lebih mengenaskan tidak menjadi pemicu tumbuhnya sikap pesimis yang mendorong diri untuk melakukan aksi bunuh diri.

Tentu ini menjadi sebuah cerminan bagi kita bahwa pandangan kita selama ini terhadap masyarakat Eropa begaya-hidupkan individualis dan materialis itu benar adanya. Hanya pandangan hidup seperti itulah yang menjadikan krisis ekonomi sebagai bencana besar buat kematian mental seseorang.

Dan seharusnya para politikus Indonesia berfikir jernih dalam menyikapi warga bangsa yang ingin dikelolanya. Tidak lah pantas untuk berkuasa bagi seorang  penggerak politik suatu bangsa yang tidak memahami landasan hidup warga bangsanya sendiri.

Sudah sepantasnya para politikus Indonesia sekarang untuk tidak lagi mengangkat isu kemajuan ekonomi sebagai faktor utama kekuatan bangsa. Sebab faktor dominan, atau utama, yang menguatkan masyarakat bangsa Indonesia bukanlah ekonomi. Melainkan faktor agama yang dianut oleh warga terbesar bangsa ini. Kebobrokan moral, kelemahan mental, dan kericuhan sosial yang terjadi di Indonesia selama ini pemicu terbesarnya bukanlah faktor krisis ekonomi, tapi faktor keberagamaan yang selalu dipandang remeh oleh para pemimpin bangsa ini. Tragedi poso, tragedi tanjung priuk, tragedi perzinahan yang meraja lela, adalah fakta nyata yang disebabkan oleh terjadinya persoalan dalam hal agama.

Wahai para politikus, berhentilah merendahkan kaum miskin yang masih jadi mayoritas di negeri ini, dengan mengatakan kemiskinan sebagai pemicu gejala kemerosotan sosial. Sayangilah mereka, hargailah mereka, dengan cara kalian mulai bergerak menyusun strategi kongkrit membesarkan mereka dan benar-benar mengabdi untuk kemajuan negeri ini ke arah kemajuan yang hakiki!!

Semoga tulisan ini menjadi bahan renungan buat kita semua....

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.