Sosok Mohammad Natsir di Mata Yusril Ihza Mahendra

Ketika melihat-lihat postingan bapak Yusril Ihza Mahendra di dinding fbnya, saya merasa tertarik untuk menyimak sebuah photo usang dirinya ketika bersama pak Natsir (mantan perdana mentri pertama RI). Photo tersebut Yusril beri judul dengan "LAKI-LAKI ITU, BAGAIMANA MUNGKIN SAYA LUPA !". Dan di bawah ini adalah secercah catatan yang mencurahkan beragam kenangan Yusril terkait sosok M. Natsir yang berada bersama dirinya di photo itu.

"LAKI-LAKI ITU, BAGAIMANA MUNGKIN SAYA LUPA !"

Tulisan ini, saya buat ketika tiba-tiba mata saya tertuju pada satu foto yang tertempel di ruang staf saya di kantor Ihza & Ihza Law Firm. Dan entah kenapa, ingatan ini tiba-tiba begitu saja hadir dan menimbulkan kerinduan yang dalam pada sosok laki-laki itu.

Mungkin ketika disebutkan tentang bulan Februari, dan ditanyakan apa yang paling diingat tentang bulan ini kepada sebagian generasi muda hari ini, kita bisa menebak apa kira-kira jawaban mereka. Sejatinya, ada hal yang lebih penting, terjadi di Indonesia di bulan Februari ini, tepatnya pada 15 Februari 54 tahun yang lalu. Dan ini, berhubungan dengan laki-laki itu.

Bagaimana mungkin saya lupa!
Pada laki-laki yang sebenarnya berhak mendapatkan beasiswa melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi, dengan pilihan Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta atau Economische Hooge School (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, Negeri Balanda, tapi ia dia justru lebih tertarik untuk langsung bekerja dengan masyarakat, membantu mencerdaskan rakyatnya. Dia putuskan untuk menjadi guru dan mendirikan lembaga pendidikan partikelir, Pendis.

Bagaimana mungkin saya lupa!
Pada laki-laki yang bukan saja memahami tetapi mampu menulis dalam bahasa Belanda, Arab, Inggris dan Perancis dan tak pernah putus asa untuk mencari itu. Dia pergi ke sana ke mari untuk mencari buku, meminjam dengan orang-orang, atau meminjam buku di berbagai perpustakaan. Laki-laki itu, membaca buku-buku itu dengan penuh minat. Saya menyadari bahwa laki-laki itu tidak ingin sembarangan bicara atau sembarangan menulis. Laki-laki itu ingin mendalami segala sesuatu sebelum menyampaikan pendapat atau menentukan sikap terhadap sesuatu masalah.

Bagaimana mungkin saya lupa!
Pada laki-laki yang di usia senjanya sering menyuruh saya untuk mencari berbagai buku yang ingin beliau baca, yang bukan saja saya harus mencari buku-buku itu di berbagai toko buku atau di perpustakaan, tetapi bukan sekali dua harus datang ke rumah beberapa tokoh untuk mendapatkan buku itu. Prof. Osman Raliby, Prof. Zakiah Darajat, Prof. Deliar Noer, M.Yunan Nasution, Zainal Abidin Ahmad, Endang Saifuddin Anshary, adalah adalah nama-nama yang rumahnya pernah saya ketuk pintunya karena perintah meminjam buku dari laki-laki itu.

Bagaimana mungkin saya lupa!
Pada laki-laki yang pertama kali bereaksi atas mimpi Presiden Soekarno untuk menguburkan semua partai, yang diujudkan dalam konsepsi Presiden. Laki-laki yang dengan lantang menyatakan, “selama demokrasi itu ada, maka selama itu pulalah partai itu tetap ada. Dan apabila partai-partai sampai dikubur, demokrasi pun turut pula masuk ke liangnya sekalian. Dan yang tinggal berdiri di atas kurburan itu adalah diktatur.”

Bagaimana mungkin saya lupa!
Pada laki-laki lembut yang lebih memilih jalan kompromi dan dialog, tapi sampai pada satu titik tertentu bisa sangat tegas dan memilih masuk ke dalam hutan demi mempertahankan prinsip bernegara yang benar dan konstitusional. Ya, laki-laki itu memilih bersama-sama dengan teman-temannya dalam wadah Dewan Perjuangan pada 15 Februari 1958, 54 tahun lalu, setelah lewat waktu lima hari, waktu yang ditentukan, dan tuntutan kepada Pusat agar Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada Presiden dan dibentuk kebinet baru di bawah Hatta-Hamengkubuwono IX serta agar Soekarno kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden Konstitusional yang taat pada UUD baik dalam kata-kata maupun dalam perbuatan tidak dipenuhi, mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dalam bentuk sebuah kabinet dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri.

Bagaimana mungkin saya lupa!
Pada laki-laki yang memanggil saya dengan sebutan ‘Saudara’. Laki-laki yang berkata, “Saudara Yusril. Tunggu sebentar”. Saya pun menunggu sebentar dan laki-laki itu keluar dari dalam rumah lalu memasukkan tangannya ke kantong baju saya. Sambil tertawa, laki-laki itu mengatakan “Ini ongkos becaknya”. Sayapun tertawa, saya katakan “Pak, sekarang tidak ada becak lagi di Jakarta”. Laki-laki itupun tertawa dan mengatakan, “Saudara kan mahasiswa dan tinggal di asrama. Ini untuk naik bis dan untuk ongkos makan”.

Dan, bagaimana mungkin saya lupa!
Pada laki-laki yang dulu pernah mencari saya ke Asrama UI Daksinapati Rawamangun, Jakarta. Teman-teman se-asrama memberitahu saya, “Ada Pak Natsir datang ke asrama mencari Anda.” Setengah berlari, saya menghampiri laki-laki itu, yang menunggu di lobby asrama itu. Dengan perasaan malu, saya katakan kepada laki-laki itu, “biarlah saya yang datang ke rumah kalau ada tugas-tugas yang ingin Bapak berikan”. Sambil tertawa, laki-laki itu berkata “Ya, kalau Saudara yang perlu dengan saya, Saudara yang datang ke rumah saya. Tapi kalau saya yang perlu dengan Saudara, saya yang datang ke tempat Saudara”. Laki-laki itu mengucapkan kata-kata itu tanpa beban.

Dan, sebagai apresiasi atas apa yang sudah dilakukan laki-laki itu, saya pampang foto saya dengan laki-laki itu, yang saya sendiri sudah lupa tahun berapa tepatnya foto itu pertama kali dicetak. Tapi, seingat saya sekitar tahun ’80-an.

Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=236652446427113&set=a.155834484508910.34668.100002470798411&type=1

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.