Mengejar Maaf

Caci dan cerca saja diriku. Bantai semua wajah berlaga tak berdosa itu. Biarkan aku hapus kemunafikan diri dalam keburaman fatamorgana hidup ini. Biarkan aku jera. Biarkan kukutuki semua dosa silam yang besar dikala aku sadar. Jeritan maaf sudahlah tak berarti untuk saat ini. Shalat malam, sujud bersungkur, dan derai air mata yang membasahi setiap kata maaf yang terucap, hanya sebatas ikhtiar mengadu kepedihan pada Sang Empunya. Penyesalan demi penyesalan yang membuncah dalam setiap palung hatiku kini hanya lah sebatas berarti penyesalan. Sebab maaf tak jua dijanjikan. Sebab dosa itu kan tetap menjadi noda untuk selamanya.

Selama satu minggu belakangan, malam-malam menjelang tidur, hanya kuisi dengan uraian air mata tak bersuara. Sementara waktu seperempat malam pun kuisi dengan shalat penuh luka keranaan.Tenggorokanku sudah terlalu sakit menahan desakan hati memaksa diri tuk menangis. Bantal yang jadi tempat mukaku membenam sudah mulai basah kuyup tak berwarna. Sementara hati masih tetap ingin mencurahkan kesedihan yang dalam. Sangat berat kenyataan ini bilapun aku tak kuasa menghindarinya.

****

Sore itu, langit masih cerah. Cahaya matahari tidak begitu menyengat. Aku duduk bersama sepupuku di pelataran Kantor Tsanawiyah, tempat aku bersekolah dikala paginya. Kami sedang asyik memperhatikan anak-anak seumuran SD kelas tiga menerbangkan layangannya. Di kampung sendiri kami sangat gemar bermain layangan. Namun kali ini kami belum berani jika harus ikut bermain dengan mereka. Maklum, keberadaan kami di sana baru dua minggu. Kami yang baru masuk kelas satu Tsanawiyah, merasakan belum cukup untuk mengenal secara akrab anak-anak sekitar komplek sekolah itu.

Keasyikanku menonton keceriaan anak-anak sebawahku yang tengah bermain sontak terhenti tatkala Arman, sepupuku, berbisik kecil mengingatkanku bahwa Pak Dedi, kepala sekolah, datang dari arah sampingku mendekati kami. Kami berdua kemudian berdiri untuk bersalaman menyambut kedatangannya. Dari raut mukanya, Pak Dedi terlihat sedang memiliki kepentigan besar mendatangi kami. Perkiraanku benar. Dia menyuruh kami untuk segera kerumahnya. “Ada telepon dari ayah kalian” jelasnya.

Setelah dua minggu dengan terpaksa harus berpisah jauh dari orang tua, memang keluarga kami belum pernah memberi kabar lagi. Adanya kabar kalau ayah kami di sana sedang menunggu telepon, adalah kabar paling berharga bagi kami berdua. Jalanan yang nanjak dengan jarak yang lumayan jauh, kami tempuh dengan berlari kencang penuh semangat. Aku sudah kangen mendengar suara ayahku. Aku rindu mendengar kabar baik dari mereka di kampung halaman sana.

Istri Pak Dedi menyuruh kami duduk di kursi empuk ruang tamunya. Pandangan kami tidak lepas mengamati keadaan telepon yang tidak bersuara apa-apa.

“Nanti kira-kira satu menitan lagi ayah kalian akan kembali menelpon, sekarang kalian duduk yang tenang saja dulu“.

Satu menit lebih kami menunggu, telepon itu pun bersuara. Aku menyuruh Arman untuk mengangkatnya duluan. Dengan sigap Arman menyambar gagang telepon. Dia berbincang sebentar, kemudian melirikkan mukanya ke arahku. “Ini bapak kamu, katanya dia mau ngobrol sama kamu!” suaranya pelan dengan menyodorkan gagang pesawat telepon itu kepadaku.

Terdengar di ujung telepon sana suara ayah yang sudah sangat kurindukan. Dia begitu pintar mengawali perbincangan yang tidak memancing aku untuk menangis rindu. Pertanyaan-pertanyaan seputar kondisiku di tempat baru, mungkin ingin memastikan baiknya kondisiku, dan berharap aku bisa kuat dan betah selama di sini.

Sudah dua menit perbincangan itu berlangsung. Namun secara tiba-tiba, ditengah hangatnya perbincangan kami, ayah terdiam. Ujung pesawat telepon yang kutempelkan di telinga tidak lagi mengeluarkan suara selain hembusan nafas kami berdua. Ayah seakan sedang memikirkan sesuatu. Atau mungkin ayah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kabar pentingnya, sebab seperti yang aku dengar dari Pak Dedi tadi, ada hal penting yang ingin ayah sampaikan. Aku tidak mengganggu keheningan itu kecuali kira-kira sesudah setengah menit keheningan itu berselang.

Di sela kehenigan itu, aku beranikan diri bertanya. “Kata pak Dedi, ayah mau ngomongin kabar penting, kabar apa itu Yah??” tanyaku memecah keheningan. Ayahku masih terdiam beberapa saat, namun kemudian ia pun berbicara. Ia berusaha memintaku untuk tidak kaget atau sedih dan mau menerima semua kabarnya dengan ketabahan . Berulang kali permintaan itu dia ulang dan diminta penuh ketegasan untuk aku jawab iya. Aku pun penuhi permintaannya itu. Ayah kemudian terdiam kembali.

“Teteh (Kakak perempuan) kamu, Lilis, tadi pagi kecelakaan. Dia terpeleset saat menimba air di sumur dan terjatuh “

“Ayah sudah berusaha menolongnya sekuat tenaga. Namun nasib berkata lain. Teteh kamu pagi tadi akhirnya wafat Nak“

Air mataku sontak pecah. Suara tangisan tak kuasa lagi kutahan. Aku lunglai tak berdaya. Hanya pergelangan tangan kala itu yang bisa menjadi tumpuan mataku mencurahkan air mata sebanyak-banyaknya. Aku tak punya daya lagi menahan kesedihan besar ini. Tak kusangka Tetehku akan meninggal secepat ini, dengan cara mengenaskan pula. Masa-masa di saat aku membuat dosa kepadanya, menangisinya, menghinanya, menjahilinya, langsung terbayang kembali dan menambah berat hati ini ditinggalkannya. Aku menangis sejadi-jadinya saat itu juga.

Sementara aku terus berkabung dirundung pilu yang tidak tahu dihujung, gagang telpon kemudian diambil Arman. Dia yang kemudian melanjutkan perbincangan dengan ayahku.

****

Teh lilis adalah anak paling besar di keluargaku. Dia lah yang mengasuh aku di masa kecil. Kondisi tubuhnya memang, dari semenjak masa yang bisa kuingat, selalu sakit-sakitan. Dia seringkali hilang kesadaran tatkala penyakit ayannya kambuh. Tangan dan kakinya mengejang keras, matanya melotot bagai menahan kesakitan yang sangat, sementara mulutnya tak berhenti mengeluarkan busa. Seringkali aku meneteskan air mata melihat tetehku berusaha melewati masa-sama penderitaannya itu.

Maklum anak kecil. Apabila datang waktunya aku bertengkar dengan dia, selalu saja penyakit yang dideritanya menjadi ejekan yang ampuh. Teh Lilis seringkali menangis apabila mendapati ejekan itu. Sementara aku selalu saja tertawa karena bisa berhasil membuatnya menangis. Masa kecilku belum bisa berfikir matang. Kala itu aku tidak pernah membayangkan kalau Tetehku suatu hari akan meninggalkanku. Andai saja saat itu aku sudah memikirkan kemungkinan terpahit dari kisah kehidupan ini, bahkan andai saja aku tahu kalau masa meninggalnya adalah diwaktu aku sedang jauh darinya, mungkin aku akan berusaha menebus dosa-dosa itu atau setidaknya meminta maaf secara tulus kepadanya.

Mengenang masa dulu yang jahiliyah itu, adalah goresan sakit yang tak kutemukan obatnya. Tak sempatnya aku meminta maaf ampunannya atas semua perlakuan aku selama hidupnya, adalah lembah kesedihan tercuram yang mungkin tak kuasa untuk aku keluar sehabis menerjuninya.

Hanya ‘azam besar yang kini kuprediksi bisa menebus dosa kepadanya. Aku harus membahagiakan keluarga yang ditiggalkannya……..

(Bersambung………)

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.