Meninjau Perdebatan Ushalli dari Sisi Masalah Bid'ah dan Ijtihad

Istilah Ushali dikenal oleh masyarakat luas sebagai istilah yang diterapkan untuk upacara pelapalan niat di saat seorang muslim hendak menunaikan ibadah shalat. Belum ada kejelasan kapan istilah ini pertama kali digunakan untuk maksud kegiatan tersebut. Yang jelas, pengambilan kata ini disinyalir terambil dari salah satu hadits nabi yang berbunyi "shallu kamaa ra-aitumunnie ushallie (Shalatlah kamu sekalian [dengan cara] sebagaimana kalian melihat [tata cara] aku melaksanakan shalat)". Bahkan banyak dari kalangan awam yang memahami dan menggunakan hadits tersebut secara keliru sebagai dalil perintah melakukan ushali.

Ada faktor mendasar yang menurut hemat penulis menjadi akar permasalahan ushali ini selalu jadi perdebatan yang tidak kunjung usai. Bagaimana tidak, satu pihak memandangnya sebagai bagian dari kegiatan sunnah, sementara pihak lainnya memandang persoalan ini sebagai bid'ah. Sementara di sisi lain, perdebatan yang terjadi pun tidak menyentuh pokok persoalan yang melatar belakangi timbulnya perselisihan paham tersebut.

Munculnya perbedaan pandangan tersebut, selain diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam memberlakukan "qaidah qiyas" dalam landasan berfikir mereka, bisa jadi juga hal itu diakibatkan oleh terdapatnya jurang pemisah dalam soal sisi penempatan akar masalah yang dibahas itu sendiri.

Di kala ushali diangkat menjadi tema diskusi dalam hal kasus bid'ah, entah mengapa secara otomatis persoalan perbedaan dalam menyikapi duduk perkara boleh dan tidaknya niyat dilafalkan (secara ferbal) pun selalu dibahas. Padahal, persoalan apakah yang terbaik bagi niat itu dilafalkan atau pun tidak dilafalkan (cukup dalam hati dan tekat), bukanlah dasar persoalan bid'ah atau tidaknya ushalli. Persoalan apakah niat lebih baik dilafalkan atau pun tidak dilafalkan adalah persoalan ijtihadi, yakni persoalan yang membutuhkan kejelasan yang tatacara untuk mencapai maksud tersebut tiada cara lain selain mencurahkan segala kemampuan kita untuk mencernanya lewat pertimbangan-pertimbangan kaidah pokok hukum Islam.

Hasil proses ijtihad di sisi hukum sendiri tidak berakhir pada pembid'ahan (pengharaman ataupun penyesatan pada yang berbeda pandangan), melainkan penilaian lebih mashlahat mana dari kedua pendapat tersebut apabila ditimbang dari sisi hukum syari'ah.

Ada pun munculnya persoalan talafudz biniyah (seperti pelaksanaan ushali, niat puasa dsb.) itu menjadi persoalan bid'ah sendiri, hal itu dilantarankan sudah bergesernya kasus, yakni dari persoalan ijtihad kepada perekayasaan syari'ah. Perekayasaan syari'ah yang dimaksudkan penulis adalah melakukan persoalan-persoalan 'ubudiyah (yakni ibadah mahdhah atau ritual) yang baru, yang tidak dikenal dalam hukum Islam yang sudah ditetapkan dan sudah disempurnakan (tidak memerlukan tambahan lagi). Hal ini terbukti dengan terdapatnya contoh antara lain seperti penetapan dalam hal lafadz yang, tidak boleh tidak, harus sama, padahal tidak ada satu pun nash yang mengatur semua itu, begitu pula dalam soal penetapan waktu pelaksanaannya. Hal semacam ini dalam kacamata hukum sudah bergeser dari yang awalnya ijtihad menuju persoalan kreasi-kreasi baru dalam urusan ibadah mahdhah (yakni ibadah yang baik tempat, waktu, ataupun tatacaranya sudah diatur secara mutlak).

Dengan kata lain, persoalan talafudz binniat pada awalnya bukanlah persoalan yang jatuh pada pilihan antara bid'ah atau sunnah, melainkan persoalan ijtihadi yang posisi hukumnya adalah pilihan mana yang terbaik dari kedua persoalan yang ada bila ditinjau dari sisi pertimbangan hukum syari'at. Anda mau berniat dengan melafalkan niyatnya itu atau anda memilih untuk tidak melafalkan niyat karena berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang lebih kuat, misalnya, adalah persoalan yang sah-sah saja. Akan tetapi persoalan melafalkan niyatnya itu akan menjadi bid'ah apabila dalam sumber hukum (al-Qur'an dan Sunnah) tidak ada aturan yang mengikatnya, tetapi terjadi di kemudian waktu diikat dengan aturan bahwa lafadz niyatnya harus dengan lafadz-lafadz tertentu, atau waktu melafalkan niyatnya terikat oleh aturan waktu-waktu tertentu, maupun diikat oleh aturan penempatannya di tempat-tempat yang ditentukan.

Dengan kata lain, Melafalkan niyat pada dasarnya bukan hanya membacakan kalimat "Ushalli fardu... ", atau "nawaitu shauma...", dan kalimat-kalimat tertentu lainnya seperti yang sering kita dengar biasanya. Yang namanya melafalkan niyat, dengan menggunakan kalimat apapun, asalkan mewakili dalam mengungkapkan niyat yang kita miliki, termasuk dengan menggunakan bahasa ibu kita sendiri sekalipun, pada dasarnya bisa masuk pada kategori melafalkan niyat itu. Maka timbulnya aturan secara khusus bahwa melafalkan niyat itu harus dengan kalimat tertentu, tentu saja harus dicari ada atau tidaknya pengkhususan itu dalam sumber rujukan hukum agama kita (al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah). Karena pengetatan atau pengkhususan kalimat tertentu sudah bukan lagi persoalan ijtihad "mana yang harus dilakukan dalam niyat, dilafalkan atau cukup dalam hati saja?", maka Jika semua ikatan aturan-aturan itu tidak ada dasar pokoknya dari perintah langsung al-Qur'an maupun Sunnah, sudah barang tentu persoalan ini bukan lagi persoalan mana yang lebih utama, tapi inilah yang dinamakan tambahan dalam hukum, persoalan bid'ah yang dilarang keras oleh syari'at Islam.

Penulis bukanlah ahli hukum yang bisa merumuskan dan memutuskan duduk perkara hukum suatu persoalan. Untuk itu, tulisan ini tidak ada tujuan untuk memutuskan duduk perkara hukum yang bukan bagian dari kompetensi penulis. Tulisan Ini hanyalah sebuah pandangan dari hasil pengkajian dan pengamatan yang menurut penulis patut untuk ditempuh dan diterapkan dalam konsep berfikir kita di persoalan terkait, apabila kita ingin secara terkonsep memahami akar persoalan dan mencapai solusi penyelesaian yang diinginkan kita selama ini. Wallahu a'lam

Semoga bermanfaat..

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment