Ada Apa dengan 'Iedul Qurban kita



Dalam sejarah perjalanan hidup Rasulullah, setidaknya kita dapat melihat perkembangan kesejahteraan masyarakat Muslim waktu itu dari tahun ke tahunnya melalui tahapan syari'at distribusi daging hewan qurban di waktu hari raya 'Iedil Adha. Pada periode awal disyariatkannya penyembelihan hewan qurban, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang setiap ummat islam untuk menyimpan daging qurban dan memerintahkan untuk membagi habis seluruh daging tersebut kepada masyarakat luas. Pada tahun berikutnya Rasulullah kemudian membolehkan untuk menyimpan dan mengawetkannya. Dengan digantikannya larangan dengan pembolehan dalam jangka waktu berturutan satu tahun berikutnya itu, bisa dipastikan bahwa kondisi kesejahteraan masyarakat dalam jangka satu tahun dari periode qurban pertama mengalami peningkat secara signifikan, hingga larangan untuk mengawetkan daging qurbanpun diganti dengan pembolehan.

Qurban di masa Rasulullah mampu mensejahterakan masyarakat hingga syari'at pendistribusian hewan Qurban pun berkembang cepat dalam menyikapinya. Apakah meningkatnya kesejahteraan masyarakat waktu itu tumbuh akibat dari dampak bantuan distribusi daging hewan qurbannya, atau semangat qurban itu sendiri yang mendorong kaum muslimin untuk menjadi para qurbani?

Jika phenomena itu muncul akibat persoalan yang pertama, maka pertanyaan berikutnya adalah; seberapa besarkah bagian yang diterima oleh masyarakat hingga syari'at mampu menstimulus perekonomian mereka, seberapa lama kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan bagian yang diterimanya dalam memenuhi kebutuhan pokoknya hingga mereka mampu menabung dan mampu merubah statusnya dari seorang penerima ke seorang penyembelih di tahun berikutnya? Dengan adanya larangan untuk menyimpan dan mengawetkan daging hasil penyembelihan qurban, setidaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah dapat terjawab, bahwa hewan yang disebelih sangat sedikit, otomatis pula bagian yang bisa diterima oleh masyarakat pun sangatlah sedikit, mereka tidak bisa menyimpan daging Qurban untuk konsumsi esok hari, qurban di tahun pertama secara besaran materi sangatlah tidak memungkinkan membantu secara penuh kebutuhan pokok masyarakat atau situasi kemiskinan mereka berhari-hari bahkan berminggu-minggu atau berbulan-bulan lamanya.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas setidaknya penulis memahami adanya perkembangan kesejahteraan dalam phenomena kehidupan masyarakat di masa Rasulullah itu lebih kepada adanya dorongan semangat yang didapat oleh para individu dari memahami syari'at qurban untuk menjadi individu-individu yang tumbuh meningkat dari yang mulanya sebagai mustahik (konsumen), menjadi para qurbani (yang mengikhlashkan sebagian kekayaannya untuk diserahkan ke pada Allah SWT., lewat hewan Qurban) di tahun berikutnya. Mereka terangsang untuk menjadi orang-orang yang mampu menjalankan syari'at qurban, bukan menjadi orang yang patut ditolong oleh hewan qurban lagi.


Sementara jika kita membandingkan masa Rasulullah di atas, dengan kondisi masyarakat, terutama di perkotaan-perkotaan besar, di Indonesia akhir-akhir ini, dari tahun ke tahun jumlah para peminta bagian daging qurban malah terlihat semakin banyak jumlahnya. Dan ironisnya lagi, orang-orang yang meminta bagian hewan qurban seakan bukan diakibatkan dari kebutuhan mereka untuk mencicipi daging hewan yang mereka tidak mampu rasakan di hari-hari luar iedul qurban. Mereka berbondong-bondong memburu tiap lokasi penyembelihan dan menggondol pulang kiloan daging yang terlihat mereka tenteng dengan berat ditangan. Mereka rela berdesakan di bawah panas mentari demi mendapatkan bagian, dan kemudian lari-lari ke lokasi lain untuk melakukan hal yang serupa. Kondisi ini selalu sama, dengan orang-orang yang relati sama pula.

Alangkah baiknya apabila kita kembali menghayati dan merenungkan inti dari syari'at qurban ini, hingga apa yang disyari'atkan mampu kita wujudkan sesuai cita-cita dan ruh yang dikandung di dalam syari'atnya.

Lantas apakah dengan phenomena masyarakat seperti demikian menjadi gambaran bahwa semakin kronisnya psikis hedonis, pragmatis, dan konsumerisme yang diidap di masyarakat kita? Apa yang kurang dari metode dakwah kita hingga tumbuh gaya hidup seperti ini? dan bagaimana langkah-langkah untuk mengantisipasinya hingga penyakit masyarakat seperti ini bisa diperbaiki? apa yang harus dilakukan berikutnya agar kondisi di masa Rasulullah bisa kita wujudkan pada kondisi masyarakat kita? ini pun selayaknya menjadi persoalan-persoalan yang menjadi PR kita, para penggerak dakwah, dalam berjuang mengisi masa tenggang 'Idul Qurban berikutnya hingga dapat terwujud semangat qurban yang sesungguhnya di masyarakat sekitar kita. Wallahu a'lam

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.