Jalan Braga, Kini Bidadari Duniaku itu Telah Tiada



Pukul 08:30 pagi, menelusuri jalan Braga sungguh menyegarkan. Jalanan di pusat kota Bandung yang terkenal ramai dipenuhi orang-orang berjalankaki dan kendaraan bermotor di kala sore hari itu, di waktu-waktu pagi seperti ini terasa sebaliknya. Sepanjang jalannya yang bersih dari sampah berserakan, udara paginya yang segar dihangati sorot mentari yang baru mengitari bumi, sungguh membuat aku betah berjalan pelan dipinggir jalan yang penuh dengan bangunan tua yang bersejarah itu. Terlebih betahnya lagi tatkala ayunan kakiku ini ku iringi dengan membuka memori lama. Masa di mana aku dan dia menghabiskan waktu selama sebulan lamanya menyusuri jalan ini menuju tempat aku dan wanita yang ku sayangi itu menyelesaikan tugas praktik lapangan.

Di tiap sudut jalan Braga yang sempat kami lewati dan singgahi, seakan memori lama itu memutar kembali secara cepat dan apik. Suara tawa kecilnya, keluh manjanya, gaya jalannya, raut muka senyumnya, kesal, lelah, senang, Semuanya terganbar kembali dalam ingatku.

Aku senang untuk mengenang kembali memori ini. Makanya aku lebih baik duduk saja sejenak untuk menikmati kembali keindahan masa itu. Di bawah gedung yang atapnya jadi trotoar persimpangan jalan Braga menuju jembatan kereta api viaduk, aku duduk termenung seorang diri memandangi jalan yang tidak begitu ramai dilalui kendaraan.

*********

Baru semester empat aku bisa melihatnya. Padahal dia satu jurusan denganku. Dia juga satu kelas denganku. Mungkin bagi kebanyakan orang, kondisi ini aneh. Aneh, sebab di setiap hari dengan aktifitas yang sama, di ruang yang sama, dan dalam waktu yang sama, tidak masuk akal jika dikatakan tidak pernah bertemu dan pertemuan baru bisa terjadi setelah kebersamaan dua tahun berlangsung.

Yah… itulah aku. Dengan perempuan aku selalu susah untuk berkenalan ataupun berbincang. Dari semenjak SD sampai kuliah, aku memang mengidap kesulitan untuk berkomunikasi dengan lawan jenis. Dan itu bukan faktor ketidak-sengajaan. Semua itu aku jalani agar setidaknya apa yang diperintah Islam terkait hubungan antar lawan jenis, seperti kontak pandangan mata dan bersentuhan kulit dengan yang bukan mahram, bisa ku jaga dengan baik.

Di semester empat itu, aku pertama kali melihatnya ketika dia mendapat bagian presentasi makalah di depan kami. Aku baru sadar kalau ternyata ada perempuan cantik dan shalehah di kelasku itu. Tutur katanya yang lembut, pakaian muslimahnya yang sempurna dalam menutup aurat, dan tatacara pergaulannya yang rapi dan terjaga selama diskusi berlangsung, setidaknya menjadi kesan terkuat bagiku untuk membuat aku bertanya-tanya tentangnya. Aku terpesona oleh semua pemandangan pertamakalinya hingga ingin mengenalnya.

Tanpa memperlihatkan diri menaruh perhatian kepadanya, di sela-sela obrolan dengan teman-teman pria lainnya, aku berusaha serapi mungkin membawa obrolan itu menjadi pancingan bagi teman-temanku untuk menceritakan sosok wanita anggun nan shalehah yang menjadi pemateri diskusi itu. Dengan cara itu aku kini sudah mengantongi beragam informasi terkait dia selama dua tahun di kampus. Mantan kekasihnya adalah teman akrabku. Teman yang pas di semester kedua perkuliahan dulu tidak mau munduru mempertahankan pendapatnya bahwa hukum pacaran itu haram. Aku sempat terheran-heran juga ketika mendapat informasi yang bertolak belakang dengan pendiriannya itu. Namun itulah kenyataannya kawan… dan aku sadar kala itu, mungkin perdebatan kami yang panjang itu terjadi bukan karena tujuan yang beda, tapi miskomunikasi dalam memahami makna dan istilah.

Tak terasa satu tahun telah berlalu dari masa pertama kali ku melihatnya. Kini dia sudah mulai akrab denganku, meski keakraban itu masih dalam tanda kutip, sebab yang aku bilang akrab hanyalah dalam batas senyum simpul dikala bertemu atau menyapaku dikala aku berpapasan dengannya. Itu bagiku adalah keakraban. Keakraban yang selama tiga tahun tidak pernah ku jumpai pada sosok wanita lain di kampusku. Cerita teman-teman terkaitku memang katanya, hal itu terjadi karena aku jutek sama perempuan. Mungkin ada benarnya juga cerita itu, namun entahlah. Yang jelas aku kini semakin terpedaya oleh daya magnetnya. Senyumnya bagaikan musim mawar yang mekar. Tutur sapanya bagaikan cuaca segar di pagi pedesaan. Suasana yang selalu kurindu untuk kutemukan kembali setiap harinya di kampusku.

Andai saja skejul datangnya bidadari itu ke kampus telah kuketahui, mungkin lima menit sebelum kedatangannya aku sudah stemby di sana. AGAR Senyumnya yang menawan itu bisa aku yang pertana kali menikmatinya. Agar suara merdu dari sapaan sopannya itu bisa menyegarkan kembali tubuhku yang lelah sehabis perjalanan kaki berangkat kuliah. Namun sayang, aku tidak bisa memenuhi harapan itu. Aku yang disibukan oleh jadwal kerja, selalu saja terlambat datang, dan terkadang selalu paling cepat untuk pulang. Senyum dan sapanya hanya menjadi sebuah harapan dan harapan yang setiap harinya sangat jarang terwujudkan. Apalagi jika di waktu-waktu selanjutnya pekerjaanku membuka kios kelontongan semakin sibuk saja. Waktuku hampir 80% jadi terfokus dipekerjaan. Kuliah terbengkalai. Dua semester aku harus ambil cuti.

Di semester tujuh aku baru mendapatkan kesempatan emas kembali. Tiba waktunya bagi mata kuliyah Sistem Informasi Management membagi kelompok diskusi, dan betapa bahagianya tatkala aku tahu kalau tim diskusiku satu kelompok dengan Bidadari itu. Dalam jangka waktu tiga setengah tahun, Baru pertama kalinya aku kebagian satu kelompok diskusi dengannya.

Dia memang sungguh baik hati, kawan. Meski aku adalah mahasiswa yang sudah jarang kuliah, dia masih mempercayakan bahan-bahan dan pengeditan isi makalah untuk diskusi itu kepadaku. Dalam waktu itu aku dan dia semakin intens bertemu dan bertukar fikiran. Komunikasiku dengannya semakin lancar. Bahkan dalam waktu penyusunan makalah untuk diskusi itu, percakapan kami tidak hanya melulu membahas materi. Kami berbincang mengenai kehidupan, pengalaman, masa-masa di sekolah dulu, sampai membicarakan problem hidup yang kami alami masing-masing. Kami waktu itu seakan dua manusia yang sedang mencari tempat berbagi dan baru menemukannya. Berjam-jam lamanya tidak terasa lama kami habiskan untuk berbincang. Dan semuanya tidak terasa terganggu meski kami melakukan perbincangan selalu ditemani satu atau dua orang teman, dengan pandangan dan jarak duduk standar syari’at. Di sinilah aku menemukan indahnya berpadukasih mencari ridha Allah ta’ala kawan…

Alhamdulillah hasil presentasi pun tidak terlalu mengecewakan. Bahkan berulang kali dosen pembimbing memberikan pujian pada hasil kerja tim kami. Di kala waktu-waktu pujian itu terlontar, sebisa mungkin kulirikkan pandanganku ke arahnya dan aduhai eloknya kawan, di sudut ruangan tempat titik sorot mataku tertuju ke sana, kulihat keindahan senyum bangga dan rona bahagia begitu jelas terlukis di wajahnya. Detik-detik itu juga aku tak kuasa menahan rasa percaya diriku tumbuh kuat mengembang di dada. (Ketika sifat jelekku berkibar) Perasaanku berkata, senyuman bahagia itu hasil karyaku..! Hasil kerja-kerasku-lah yang membuatnya bangga. Suasana hatiku pun bertambah girang gembira tatkala akhir jam mata kuliah itu tiba, dia datang menghampiriku. Dengan kalimat pendek yang tak ubahnya pupuk kompos menyuburkan tanaman cinta itu, dia berujar “Pupung… !” sapanya memanggilku. “Jazakumullah Khairan Katsira atas semua kerjasamanya ya…!!”.

Sungguh lidahku saat itu menjadi kaku. Sangat sulit rasanya aku berkata meski satu kata. Dengan sedikit kemayu, sang bidadari berdiri hampir setengah menit menunggu responku. Sementara itu, Berusaha menenangkan jantung yang berdetak kencang dan melenturkan bibir untuk berucap dalam setengah menit, itulah yang aku lakukan. akhirnya, dengan kerja keras menahan debaran jantung yang kencang, aku pun bisa membalas ucapan terimakasihnya. Dia kemudian pamit pulang.

Bahagia dan gerogi bercampur tak merata. Keringat dingin terus membasahi bajuku. Satu minggu lamanya aku tak bisa lagi berkomunikasi dengannya. Panggilan telephonnya, permintaan untuk ngobrol di kelas, bahkan SMSnya sekalipun, tak sanggup untuk aku layani. Waktu seminggu itu aku sibuk dengan usahaku mengontrol rasa gerogi diriku. Rasa yang sebetulnya tidak aku alami semasa mengerjakan tugas kelompok yang lalu. Hanya satu tanya yang aku punya, mungkinkah ini gejala rasa cinta yang banyak teman-temanku ceritakan itu? Mungkin wajar juga bagiku bertanya seperti itu, sebab aku belum pernah mengalami rasa yang serupa sebelumnya.

Di minggu berikutnya aku beranikan diri mengajaknya berbincang sambil duduk-duduk di atas batu besar yang menghujam kuat di bawah rindangnya pohon beringin yang tumbuh di samping bangunan kelas. Dia duduk di atas batu, sementara aku berdiri di samping kanannya. Kuberanikan diri menyuruhnya menunggu di sana sehabis beres kuliah. Kusampaikan permohonan maafku apabila terjadi sikap yang berbeda. Tak lupa juga aku sampaikan secara jujur apa yang sedang aku alami di masa-masa belakangan ini. Ku utarakan perasaanku. Dan seandainya dia percaya kalau semua yang aku utarakan adalah bibit rasa sayang dan cinta, waktu itu aku minta izin secara langsung untuk menjawab tekatku yang ingin menjalin pernikahan dengannya.

Aga terlihat kaget juga dia mendengar semua yang ku utarakan. Namun, Mungkin karena dia menghadapi hal semacam ini bukan yang pertamakalinya, dengan kata lain berbeda dengan kondisiku saat itu, atau karena dia sudah terlatih dengan aktifitasnya sebagai aktifis dakwah kampus, sehingga dengan cepat aku lihat dia bisa mengatasi rasa kagetnya itu. Cukup sedikit kata yang jadi jawabannya kala itu. “Pung, diwaktu sekarang ini, Aku tidak bisa menjawab penuh pasti, siap atau tidaknya aku dengan tawaranmu, hanya laki-laki yang lebih dulu meminta restu orangtuaku yang berhak mendapat kepastian itu..!!” Suasana kemudian terasa hening. Tak terdengar suara apapun setelah jawaban dia terucap. Aku dan dia terdiam cukup lama.

“Tidak ada yang ingin dibicarakan lagi kan?” Aku hanya menjawab pertanyaanya dengan tersenyum dan menggelengkan kepala.

“Kalau Pupung serius dengan pernyataan itu, datangilah orangtuaku secepatnya..” begitu pinta terakhirnya. Dengan pun berangkat duluan. Pada waktu itu, dia pergi seakan meninggalkanku dalam rasa penuh bahagia campur aduk dengan bingung. Bahagia karena yang kupahami, dari pintanya diakhir perbincangan singkat itu, setidaknya ada makna tersirat bahwa dia juga punya rasa dan harapan yang sama denganku. Aku sangat bahagia mendengar kalimat pintanya yang terakhir itu. Namun jika untuk mewujudkannya adalah dengan tindakan bermakna “secepatnya” jelaslah itu masih berat bagiku, dan mungkin saja tidak bisa, untuk aku penuhi.

Kakakku paling besar adalah seorang laki-laki. Waktu itu dia belum menikah bahkan belum punya calon sama sekali. Mungkin saja jika aku meminta restu kepadanya untuk menikah lebih dulu darinya, izinnya insyaAllah akan ia berikan dengan penuh tulus ikhlas. Namun aku punya ketakutan besar jika aku dahului dia dalam soal nikah. Aku takut mental keberaniannya jatuh. Dalam kultur Sunda, amat jarang adik laki-laki mendahului nikah kakak laki-lakinya, apalagi kakak perempuan. Aku masih belum berani memaksakan kehendak sendiri melawan kultur yang bersinggungan dengan sikologi.

Pasca kejadian obrolan serius itu, aku lalui hari-hariku bersama bidadari duniaku dengan komunikasi berniali biasa saja. Aku berbincang dengannya tanpa pernah membahas kembali apa yang pernah dibahas sebelumnya, sedikitpun tidak. Obrolan kita kalau bukan materi kuliah, paling banter ya membahas aktifitas dia selaku aktifis di salah satu organisasi dakwah kampus. Melihat sorot mata dan tingkah lakunya, mungkin saja dia memiliki keinginan untuk membahas dan mempertanyakan kembali kehendakku. Namun sampai akhirnya dia wisuda dan pulang kampung, dia dan aku tak pernah membahasnya lagi.

Meski demikian, di masa-masa tak tau arah karena aku tidak melakukan usaha yang dimintanya, kami tidak kehilangan memori indah dan berkesan. Perjalanan semasa PPL dari Cibiru sampai jalan Braga yang menghabiskan banyak waktu dan tenaga, bagiku adalah perjalanan yang penuh makna dan indah untuk dikenang. Dan sepanjang jalan Braga ini, kini semuanya hanya jadi kenangan.

Bandung, Januari 2010


Peringatan:

Tulisan ini hanya ikhtiarku untuk belajar mempbuat cerpen. Mungkin di dalamnya terdapat kisah nyata dari pengalamanku, namun tidak semuanya benar. Saya sudah menambahkan beberapa cerita piktif didalamnya, sehingga ini tidak lagi menjadi tulisan murni sejarah, atau pengalaman yang sesungguhnya.

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.