Juli Bertualang Melawan Setan


Satu hal yang paling saya tidak suka dari perjalanan pulang ke kampung halaman adalah kemalaman di jalan, apalagi kemalamannya sudah melebihi waktu isya. Selain karena kondisi itu seringkali membuat saya harus kebagian mobil angkutan umum (angkot) yang berjubel dan berdesakan, kemungkinan besar lainnya aku juga tidak bakalan dapat angkot karena mobil trayek ke kampungku sudah pada pulang kandang apabila telah tiba waktu isya.

Dua tahun ke belakang saya hampir melakukan jalan kaki karena saat sampai terminal waktu sudah pukul delapan malam. Namun waktu itu nasib baik masih menaungi saya, sebab di tengah perjalanan saya bertemu dengan tukang ojek yang mau mengantarkan saya sampai rumah.

Jalan raya yang gelap dan berliku di tengah himpitan gunung-gunung yang berjejer di pinggir-pinggirnya, rumah-rumah penduduk yang masih jarang dan antara satu kampung dengan kampung lainnya saling berjauhan, belum lagi beragam mitos mystis yang beredar di masyarakat, disertai dengan banyaknya kasus pembunuhan yang dilakukan para perampok, mungkin menjadi segudang alasan bagi para pekerja sopir angkot untuk tidak berani melakukan jalan di malam hari.

Namun di bulan juli kemari, meskipun sudah aku katakan aku sangat tidak suka melakukan perjalanan malam apabila pulang kampung, mau tidak mau saya harus pulang juga diwaktu itu. Ada keperluan keluarga yang sangat mengharapkan aku untuk pulang. Anak perempuan paman saya besoknya akan menikah, saya diminta ayah dan ibu untuk pulang. Kebetulan siangnya saya ada keperluan lain sehingga baru pukul 5 sore saya bisa melakukan perjalanan. Jarak antara tempat tinggal sekarang dengan terminal angkot trayek ke kampung halamanku lumayan jauh. Belum lagi kemacetan di jalur Buah Batu yang selalu panjang merayap di sore hari. Otomatis saya kemalaman juga di jalan, dan baru sampai terminal Ciparay pukul 9 malam.

Dari terminal Ciparay saya naik dulu angkot jurusan Kebon Awi, dan berhenti di pertigaan Garduh. Jarak antara pertigaan Garduh dengan kampungku hampir 15 KM. Jarak itulah yang harus kutempuh malam itu dengan jalan kaki.

Malam terasa sangat sepi. Angin malam berhembus kencang. Di pinggir-pinggir jalan raya sudah tidak tampak lagi ada orang berkeliaran. Sepanjang jalan yang harus kutempuh itu seakan semua orang sudah menyusupkan badannya ke selimut tebal dan hanyut dalam mimpi.

Sepanjang jalan amat jarang ada lampu yang memberi sinar buat menerangi tanah yang harus kuinjaki. Namun aku harus tetap melanjutkan perjalanan pulang, meski harus menembus kegelapan dengan berjalan kaki seorang diri, tanpa ada teman atau orang yang menemani.

Sampai di kampung Tonjong, meski kesepian dan kegelapan malam menjadi suasanan yang mewarnai perjalananku, aku tidak begitu gentar atau merasa ketakutan. Namun untuk melanjutkan perjalanan dari kampung Tonjong ke kampungku, ada dua pilihan jalan, dan kedua-duanya memiliki kisah mistis yang memang cukup untuk mendirikan bulu kudukku. Mitos yang sering aku dengar dari masyarakat di antara kedua jalan tersebut sangat beragam, dan meskipun cerita-cerita itu sudah lama tak terdengar karena aku menerimanya saat seumuran anak SD, nyatanya cerita itu masih saja memberi pengaruh besar dalam melemahkan nyaliku.

Karena apabila mempertimbangkan pilihan antara kedua jalan itu melalui cerita takhayul keduanya sama dalam hal memiliki cerita yang menyeramkan, lain halnya dengan pertimbangan jarak tempuh. Apabila saya mengambil jalan arah Bahuan ketimbang arah Babakan, setidaknya saya bisa lebih cepat dan lebih menghemat energi hampir dua kali lipatnya. Untuk itu aku putuskan perjalanan malam itu melalui arah Bahuan saja.

Jauh dari prasangka awal, kawan. Meski melewati makam dan tempat-tempat gelap nan sepi, perjalanan di kampung sebelumnya tidaklah begitu mencekam. Mungkin karena pengaruh cerita yang beredar dan yang aku dengar, meskipun tidak ada makam yang harus kulewati, jalan arah Bahuan sangat menggigilkan tubuhku. Berkali-kali aku harus mengatur napas dan menseting berulang kali kefokusan pikiran dan perasaan. Hal itu terutama harus aku lakukan apabila tengah melalui tempat-tempat yang pernah menjadi tempat pembunuhan manusia oleh para perampok maupun tempat yang terkenal mistisnya.

Hanya dua hal yang bisa menenangkanku dikala melewati tempat-tempat itu, yakni diam sejenak kemudian menjerit dalam hati. Menjerit mempertanyakan kepada Allah SWT. mengenai di mana letak kekuatan imanku. Dengan usaha itu, kesadaranku mengenai posisi aku selaku manusia yang diciptakan sebagai pemimpin bagi semua makhluk yang ada di bumi dan langit, kembali bangkit lagi. Keberanianku tumbuh segar kembali.

Namun keimananku kembali goyah tatkala menghadapi tempat lainnya yang masih gelap gulita dan penuh hiasan kisah-kisah hantu menyeramkan. Kala itu juga aku harus mengubah strategi, sebab strategi sebelumnya sudah tidak mempan lagi.

Perjalananku kali ini aku belokkan ke tempat dimana dalam cerita itu dikisahkan jadi tempat hantu itu bersemayam. Aku diam sejenak di tempat tersebut dan melihat-lihat tempat sekitarnya. Aku lakukan hal itu hanya untuk memastikan kebenaran atau hanya mitos yang tidak ada faktanya. Setelah beberapa saat berdiam diri seorang diri tidak menemukan apapun terkait sesuatu yang dikisahkan, keberanianku malah semakin bangkit dan tegar.

Aku lanjutkan perjalanan dengan keringat dan lelah yang banyak. Sampai di tempat yang jadi kampung halamanku, alhamdulillah aku tidak menemukan kejadian ganjil ataupun pandangan mata yang menyeramkan.

Perjalanan berpetualang melawan ketakutan ini saya alami bertepatan dengan tanggal 27 juli 2011 kemarin. Dan setidaknya, dari perjalanan ini aku mendapat beberapa pelajaran yang amat berharga.

Pertama, suatu tempat akan terasa menyeramkan atau menakutkan apabila kita sudah mendengar cerita sebelumnya bahwa tempat itu seram dengan kisah-kisah hantu dan sebagainya. Dan saudara akan merasa tempat itu biasa saja jika saudara tidak pernah mendengar kisah apapun terkait adanya keseraman tempat tersebut. Dengan kata lain, dari hasil pengalaman saya ini, ketakutan lebih dominan ditimbulkan oleh kisah orang terkait tempat itu.

Kedua, Apa yang jadi mitos seram belum tentu benar keseramannya, sementara Saudara akan terus dibayangi rasa ketakutan dan seram oleh mitos yang belum terjamin kebenarannya itu. Cara Menghilangkan rasa takut itu salah satunya adalah dengan memberanikan diri untuk mengeceknya sendiri.

Apabila kita mencoba memahami surah An-Naas, maka kita akan menemukan dua bentuk setan. Pertama, setan dalam bentuk bisikan manusia (salah satunya mungkin kisah-kisah mitos yang melemahkan iman seperti yang sering kita dengar) dan kedua, setan dalam bentuk jin yang mereka sendiri ada dibawah derajat kita, sehingga tentunya kita lebih berkuasa ketimbang mereka, dan bukan kita yang harus tunduk takut kepada mereka melainkan merekalah yang harus tunduk kepada kita, karena kita adalah pemimpin mereka.


SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.