Keputusan Ini Harus Kuambil (Alasan Mendasar Dibalik Tidak membereskan Kuliah)


Seperti yang telah saya tuliskan di bagian "Sosok Guru yang tak Pernah Bertemu" dan di artikel "All About Me", sebetulnya saya merupakan anak yang berkarakter keras dalam mengusahakan cita-cita, terutama dibidang pendidikan. Dari kecil hingga dewasa kini, apapun pekerjaan yang bisa saya lakukan untuk mencapai cita-cita itu pastilah dengan senang hati saya akan lalui. Itulah sebabnya kenapa hanya untuk bersekolah saja saya sampai mau beberapa tahun bekerja sebagai pembatu, menjadi pedagang, ataupun sesekali bekerja menambang becak dan jadi seorang pemulung. Pekerjaan itu semua bukanlah menjadi hal yang berat untuk aku lakukan sebab niatku untuk belajar sangatlah besar.

Namun kali ini, dengan keputusan yang baru-baru ini aku ambil, banyak orang-orang terdekatku; seperti saudara, orang tua, dan sahabat-sahabat karibku, penuh keheranan atas keputusanku itu. Mungkin karena mereka memperhatikan karakter aku sebelumnya itu, atau Mungkin dalam benak mereka kini terbersit anggapan bahwa aku yang sekarang sudah berubah dari aku yang dulu. Meski sedikit banyak aku sudah berusaha menjelaskan latar belakang di balik keputusanku itu, dari sorot mata mereka, dari perbincangan mereka, langsung ataupun tidak, keheranan dan kekhawatiran itu masih tetap kurasakan.

Atas dasar kondisi itulah pada kesempatan ini saya ingin menyempatkan waktu untuk mengurai benang kusut yang selama ini kualami dan menjerat pula beberapa orang terdekatku. Selain itu, semoga dengan tulisan ini juga ada hikmah yang bisa diambil dari history kehidupanku itu oleh pembaca sekalian.

Sebetulnya, keputusan yang kuambil ini bukanlah perkara yang aku fikirkan dan aku niatkan secara tiba-tiba. Kondisi yang melatarbelakangi keputusan ini amatlah panjang. Dan kondisi fikiran dan perasaanku itu tidak pernah sebelumnya aku ungkapkan pada orang lain. Aku biarkan otak dan perasaanku terus berkecamuk saling bertempur dan menimbang. Hampir 4 tahun lamanya aku hidup dalam kebimbangan dan keserba-kakuan.

Akal dan perasaan mulai berperang antara mengejar gelar atau menjalankan ketaatan pada tuntutan Tuhan, terjadi pada saat aku menginjak kuliah di semester dua. Kala itu kami, sekelas, dihadapkan pada seorang dosen yang mensyaratkan kami untuk memberi uang jika ingin diluluskan matakuliah yang dipegangnya. Yang bagus nilainya maupun yang jelek, yang saya termasuk di dalamnya, tanpa terkecuali harus memenuhi persyaratan itu.

Dari sekian banyak mahasiswa satu angkatan di jurusan yang saya ambil kala itu, hanya ada kurang lebih 5 orang yang tidak mau memenuhi persyaratan itu. Situasi antar teman sekelas pun mulai genting. Diskusi tidak formal kami lakukan beberapa kali diberbagai tempat tongkrongan, dan berakhir dengan terpecahnya suara dan pilihan mereka hingga tak bisa dipersatukan lagi. Kultur kampus yang berlabelkan Universitas Islam itu pun, meski dalam realitanya banyak penyimpangan yang tidak berwajahkan Islam, sedikit banyaknya tetap ada pengaruhnya dalam gaya diskusi kami.
Kebuntuan yang kami temukan telah memaksa kami untuk naik saksi di hadapan Allah SWT dengan pernyatan; jika ijtihad yang kami ambil itu adalah yang terbaik, maka ketidak turutan kami pada persyaratan dosen itu agar diberi kemudahan membereskannya.

Singkat cerita, dari lima orang yang tidak memenuhi persyaratan itu, hanya dua orang yang tidak dikasih nilai, salah satunya adalah aku. Teman-teman yang mengambil jalan memenuhi persyaratan dosen kala itu merasa menang, mereka mendapat nilai A atau B. Namun hatiku tetap yakin bahwa kondisi ini masih dalam tahap proses, belum final. Aku yakin bahwa Allah SWT. masih menunggu momentum baik untuk mewujudkan panjatan doaku. Karena aku sangat yakin bahwa doa bukanlah magic yang bisa terwujud langsung seketika walau magicpun hanya tipuan belaka. Do'a membutuhkan proses sehingga dengan berlakunya do'a itu, berjalannya ekosistem kehidupan tidak terganggu. Meski ratusan bahkan ribuan orang berdoa yang terkadang isi do'anya saling bertentangan satu sama lainnya, nyata bahwa pengkabulannya tanpa ada gangguan bagi keberlangsungan ekosistem kehidupan.

Tiba waktunya do'a itu pun dikabulkan. Aku dipanggil oleh ketua jurusan. Dia mempertanyakan alasan kenapa aku dan temanku yang satu lagi itu tidak mendapatkan nilai. Mungkin dia sudah curiga atau bahkan mungkin saja dia sudah tahu. Saat itu aku merasa dibukakan jalan. Pertanyaan beliau aku jawab dengan kondisi apa adanya. Dan setelah beliau memastikan kebenarannya kabar dariku itu, dengan meminta sumpahku dan saksi yang bisa menguatkan pernyataanku, pada akhirnya beliau berjanji akan mengusahakan jalan keluarnya.

Seminggu kemudian beliau memanggilku kembali untuk memberikan kabar bahwa lewat ikhtiarnya, nilai mata kuliah yang bersangkutan kini sudah keluar. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur sebab Allah SWT masih benar-benar telah mewujudkan janji-Nya. Dalam perbincangan kali ini ketua jurusanku menanyakan asal sekolahku yang terkemudian dia pun mengaku masih satu almamater denganku. Selain itu, dia juga meminta maaf jika nilai yang ikasihkan kepadaku hanya B saja sebab dikhawatirkan ada kecemburuan dari mereka yang memenuhi persyaratan dosennya.

Kejadian itu pun tidak terulang lagi sampai aku menginjak semester enam, memang karena dosen yang bersangkutannya tidak mengajar lagi di kelasku.

Semester 4 aku harus mengambil cuti lantaran kerjaanku kala itu semakin berat. Bosku menyerahkan segala urusan usaha pertokoannya kepadaku. Waktu jaga toko, belanja barang dagangan, terlebih lagi kejar setoran bulanan, menurut pertimbanganku sangat tidak memungkinkan untuk dijalani sambil kuliah. Pada akhirnya, lantaran banyak mata kuliah yang tertinggal, aku pun harus banyak kuliah bareng sama adik angkatan. Dalam perkuliahan itulah aku kembali dipertemukan dengan dosen yang itu lagi.

Ketua jurusan sudah menekankan kepadaku bahwa jika aku kembali menemui persoalan yang sama tidak perlu risau lantaran dia siap membantu. Bagi kebanyakan orang mungkin dengan adanya penekanan dari seorang ketua jurusan seperti itu akan menjadi hal yang sangat menyenangkan. Apa lagi jika posisiku saat itu sudah dikenal oleh anak-anak jurusan sebagai anak kesayangan beliau. Kondisi itu bagiku malah menumbuhkan sikap yang sebaliknya. Aku malah berfikir bahwa kondisi seperti itu sangat menggelikan, terutama jika dihadapkan dengan orang yang satu almamater denganku yang kedudukannya pun sudah cukup untuk membuat perubahan.

Aku sempat menanyakan secara tidak langsung persoalan kenapa dia tidak menindak dosen yang ditempatkan di fakultas dakwah sementara perilakuknya masih harus didakwahi itu. Jawabannya sangat mengecewakan. Dia masih merasa bahwa jabatannya itu masih belum cukup untuk menindak hal seperti itu. sebuah jawaban yang tidak masuk dalam logika fikirku.

Sedikitpun kehendakku agar dosen yang suka menyepelekan aturan agama itu sebaiknya disingkirkan saja bukanlah atas landasan benci atau permusuhan dikarenakan dia sudah menghambat nilai idealisme yang aku pegang. Sedikitpun aku tidak punya motif seperti itu. Aku hanya ingin institusi pendidikan yang menyandang kata dakwah ini, apalagi jurusannya ialah managemen dakwah, tidak dikotori oleh orang-orang seperti itu. Institusi yang mencetak kader-kader harapan bagi perbaikan kondisi masa depan ummah tidak bakalan mungkin mampu merealisasikan cita pengkaderannya, sepanjang para pengurus dan pengajarnya sendiri masih patut untuk didakwahi. Malahan setidaknya dengan masih dipertahankannya dosen semisal itu, secara langsung ataupun tidak, banyak atau pun sedikit, justru akan menularkan virus sifat jeleknya itu kepada para anak didiknya.


Aku memang bukan seorang mahasiswa yang bisa mengerahkan masa, seperti kebiasaan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Retorikaku pun tidaklah sepasih mereka sehingga gaya lobi melobi dan mempengaruhi orang lewat omongan lisan tidak mampu aku pastikan keberhasilannya. Namun meskipun demikian banyaknya kekurangan dari sisi kelaziman, usaha untuk menjalankan ilmu dakwah tidaklah harus berhenti dan diam. Setidaknya aku punya harapan bahwa dengan keputusanku untuk tidak membereskan perkuliahan ini menjadi bahan pelajaran bagi instansi terkait. Usahaku ini pun mungkin tidak akan memberi hasil dan dampak yang signifikan bagi institusi pendidikan. Meski begitu, peganganku yang selalu menguatkan pilihan ini adalah semoga ALLAH SWT. cukup menjadikannya sebagai saksi bahwa aku bukan bagian dari orang-orang yang sudah memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan namun ia tidak menjalankannya, dan semoga pula ini semua menjadi bentuk penolakanku yang besar terhadap ketidak benaran.

Semoga pilihan ini adalah pilihan terbaik yang Allah SWT. ridhai.
Semoga Allah SWT. tetap merealisasikan cita dan harapanku dari jalan lain yang lebih sehat dan bersih lagi.

Inilah alasan besar dibalik pilihan yang telah kuputuskan. Semoga saudara-saudaraku, teman-temanku, dan kedua orang tuaku lebih bisa memahami landasannya.

Wassalam

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

2 comments:

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.