Sosok Guru yang Tak Pernah Bertemu

Sekolah di Pesantren bagi saya adalah sebuah idaman dari semenjak SD dulu. Namun idaman itu kemudian menjadi sebuah keminderan yang sangat bagi mental saya yang setelah sekian lama terkurung di pondok yang tidak tahu perkembangan dunia luar (Mohon untuk jangan difahami pondok kami sebagai pondok yang tertutup, ini hanya sugesti perasaan saya seorang selama di pondok!!). Saya menjadi sosok manusia kaku untuk bergaul dengan orang lain. Bertahun-tahun saya alami perasaan itu.


Setelah pindah ke Pesantren lain, saya harus sekolah sambil bekerja dengan orang-orang yang hidup di jalanan. Ketika itu saya pun menjadi jauh dengan teman-teman di Pesantren. Saya menjadi tidak nyaman berada di samping mereka. Ustadz-ustadz menjauhi saya. Mereka terus mencurigai saya sebagai orang bejat, karena hidup bergaul dengan orang-orang terminal. Hingga ada seorang ustadz yang setiap hari, selama 2 tahun, suka mengelus punggung saya sambil berucap "Pung cepat-cepat bertobat..!" Bagi saya waktu itu, kebiasaan ustadz tersebut bukanlah menjadi saran yang mengenakkan, melainkan beban besar bagi mental, karena itu adalah tuduhan melakukan dosa besar yang tidak pernah dilakukan.


Tahun-tahun itu bagi saya adalah dilema dalam mencari jati diri. Dilema untuk menyikapi dan mempercayai diri sendiri atau mengamini penilaian orang lain terhadap saya sendiri. Hingga akhirnya dunia luar dan dunia pesantren pun menjadi setengah-setengah saya selami. Jadi ustadz tidak pantas karena tidak bisa baca kitab kuning, sementara menjadi preman juga tidak kesampaian karena tidak bisa berkelahi. Saya merasa hidup ini tidak berguna, tidak memiliki karakter yang menonjol dari yang lainnya. Andai kata waktu itu saya meninggal, mungkin orang-orang tidak merasakan pengaruh apa-apa. Orang lain mungkin akan menganggap hidup saya antara ada dan tiadanya, tiada bedanya....


Memang begitulah hidup. Setiap pase pasti ada masa di mana ada kondisi stagnansi, ada masa keterpurukan, dan ada pula masa kejayaan. Dan itu amat nyata teralami dalam kehidupan pribadi ini. Saat mengalami masa stagnansi dan keterpurukan, saya yakini di saat itu pula kita akan menemukan jalan terbaik yang dapat kita tempuh untuk keluar dari permasalahan itu, dan memperbaikinya hingga kita bisa bangkit kembali menjadi manusia yang berguna, atau minimal menjadi manusia yang optimis menghadapi masa depan. Tentu saja itu harus kita usahakan sendiri sebab bagaimanapun juga "innallaaha laa yughayyiru maa biqaumin hatta yughayyiru maa bi anfusihim". Kita tidak akan bisa merobah keadaan yang sedang dialami, selama kita tidak berusaha merobahnya sendiri.


Semangat hidup untuk merobah keadaan hadir setelah saya mengenal seorang cendikiawan Muslim yang amat luas keilmuannya. Beliau adalah bpk. Endang Saefuddin Anshari (Anak dari ulama besar Isa Anshari yang terkenal dengan gelar Singa Mimbar). Meskipun saya tidak pernah mengenal wajahnya, meskipun saya tidak pernah menjabat tangannya, tapi beliau seolah tiada hentinya memberi pengarahan terhadap jalan hidup dan cara bagaimana menyikapi hidup yang harus saya jalani. Lewat karyanya, beliau bagi saya, seolah Rumi bagi Iqbal yang terus mengarahkan jalan ketika menjelajahi planet-planet Javid Nammah.


Ketika saya sedang mengalami keterpurukan dan kebingungan, KH. Endang hadir lewat bukunya yang tidak sengaja saya baca. Uniknya, saya menyukai buku beliau bukan karena melihat tutur kata dalam tulisannya yang bagus, karena memang, dalam buku tersebut, beliau amat jarang menjabarkan persoalan melalui tutur katanya sendiri. Ketertarikan saya pada beliau adalah karena kejeliannya dalam menyusun semua argumen permasalahan, dari sumbernya langsung, dengan simpel tapi membuat orang paham betul akan kesimpulan yang dimaksudkannya. Buku beliau bagai kliping kutipan. Baik filsafat, sains, tafsir, sejarah, hadits, al-Qur'an dan semua argumen-argumen yang kuat, beliau curahkan dalam bukunya. Entah berapa bahasa yang beliau kuasai untuk memahami buku-buku yang beraneka ragam bahasa itu. Entah berapa ribu buku yang beliau baca hingga mampu mengutip puluhan referensi untuk membahas satu bab persoalan saja.


Semangat saya untuk terus belajar mengikuti jejak beliau, semakin meronta bangkit setelah saya tahu bahwa di balik kecendikiaan beliau itu ternyata latar belakang pendidikannya sama dengan saya. Beliau adalah lulusan pesantren. Lulusan pesantren yang sanggup menunjukkan pada dunia bahwa dirinya mampu bersaing dengan semua orang yang lainnya. Dalam pikiran saya, jika latar belakang pendidikan beliau saja sama dengan saya, kenapa saya tidak bisa sama dengan beliau. Akhirnya semangat saya untuk membaca buku-buku yang beliau jadikan reperensi dalam bukunya itu tumbuh demikian subur. Saya juga semangat untuk melanjutkan studi ke perkuliahan, karena memang beliau menjadi besar lantaran melewati dunia kuliah. Semangat itu terus membakar tekat saya sehingga saya nekat, dengan tidak mempunyai uang sepeserpun, saya mendaptarkan diri menjadi mahasiswa baru di UIN Bandung. Dengan memakai kaos oblong dan sandal jepit, saya masuk ke gedung Al-Jami'ah yang para pegawainya tidak memperdulikan saya.


Hampir dua tahun saya terus semangat menggali ilmu apa saja yang saya jumpai dalam buku. Tidak perduli orang mau menganggap apa pada saya, yang penting saya happy menjalani kuliah dengan kesibukan kerja diwaktu lainnya. Penampilan saya seolah tukang beling (sebutan orang Sunda pada para pemulung) yang tiada malu memunguti semua yang berguna meskipun jorok. Sudah sering saya diusir oleh satpam (penjaga portal kampus) karena mengira saya bukan mahasiswa di sana. Maklum saya ke kampus waktu itu suka bawa becak, kalau pun tidak bawa becak, saya pakai sepeda yang di belakang bagasinya terkait dua kantung karung goni, tempat saya mengemas barang dagangan.


Setelah dua tahun hidup seperti itu, saya mengalami titik jenuh yang amat sangat. Kuliah tidak lagi se semangat waktu dulu. Tiap semester bolos terus. Hingga IPK anjlok ke titik nadir yang memungkinkan saya hanya bisa mengambil mata kuliah cuma lima SKS setiap semesternya. Dengan kondisi semacam itu, tiada harapan lagi bagi saya untuk menyelesaikan perkuliahan. Tidak ada bayangan bagi saya untuk mampu menyesaikan kuliah yang saya cita-citakan dulu menjadi jembatan raih gelar sarjana.


Di kondisi semacam itu, lagi-lagi pak Endang seakan hadir mencambuk saya, yang tiada semangat itu, untuk lari sekencang-kencangnya, untuk optimis sebesar-besarnya, dengan menghadiahkan sebuah buku yang memaksa saya untuk berkaca pada buku hasil usahanya itu. Bagi orang lain mungkin itu hal sepele, tapi buat saya itu adalah gerakan Pak Endang yang amat final dalam menegur saya.


Kurang lebih ceritanya begini....


Suatu hari, saya bolos kuliah. Berangkat dari tempat kerja dengan pamitan pada bos untuk kuliah. Padahal waktu itu saya malah jalan-jalan ke Pasar buku Palasari. Saya kelilingi setiap toko buku yang ada untuk mencari buku yang menarik hati saya. Setelah lelah berkeliling dan tidak mendapatkan buku yang saya minati, akhirnya saya masuk ke sebuah glosir buku yang paling besar di sana. Saya telisik semua buku yang dipajangkan. Dan saya melihat ada sebuah buku agak tebal yang judul bukunya agak menarik, "Dari Khazanah Dunia Islam". Saya buka-buka sebentar buku tersebut. Ternyata isinya merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan kolom yang ditulis oleh seorang penulis yang namanya masih asing dibenak saya. Saya berniat menyimpan kembali buku tersebut. Namun niat itu kembali terhenti setelah tanpa sengaja saya membaca kapernya yang bertuliskan bahwa Editor dan Penyuntingnya adalah Pak Endang. Pak Endang yang selama ini jadi sang Inspirator saya. Tanpa berpikir panjang, saya langsung beli buku tersebut. Untungnya, meskipun buku tersebut agak tebal, mungkin karena terbitan lama, harganya ternyata murah juga. Wal hasil saya gembira karena kelelahan saya akhirnya mendapatkan sesuatu yang mungkin akan bermanfaat bagi bekal saya dikemudian hari.


Sesampai di tempat kerja, saya baca-baca buku tersebut. Ternyata memang isinya sangat menarik. Hampir semua aspek khazanah Islam terkupas habis di sana. Bentuk pengkajiannya yang menggunakan alur bahasa yang mengalir, membuat saya nyaman untuk membaca buku tersebut dari awal hingga akhir. Persoalan-persoalannya pun adalah persoalan-persoalan sederhana. Bahkan yang dulunya saya anggap hal itu sepele, hingga tidak terlalu dipikirka, berkat kejelian penulisnya, persoalan itu kini menjadi wacana pemikiran yang mengasikkan bagi saya.

Dari semua isi buku yang dibaca, tergambar oleh saya betapa penulis buku ini amat luas wawasannya, terutama di bidang seni dan budaya, beliau amat proporsional hingga mampu memisahkan mana lahan kajian fiqih dan mana lahan kajian budaya dan seni. Begitu juga dalam bidang filsafat. Beliau berani menentang seorang Prof. filsafat, yang mengarang buku filsafat Islam, yang menurutnya bertentangan dengan hakikat filsafat Islam itu sendiri. Dengan kecakapan yang dimilikinya itu, saya hampir tidak percaya kalau ternya, semua ilmu yang dikuasainya itu, yang dapat saya bayangkan amat luas itu, adalah hasil dari penjelajahannya secara otodidak atau tanpa pernah belajar di sekolah sama sekali. Bahkan melalui pengakuannya sendiri, sekolah dasar pun tidak pernah ia lakoni. Subhanallah...!!! Lebih terperanganya lagi, setelah saya membaca ternyata jabatan beliau adalah dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan juga sebagai Rektor Bagian I Bidang Akademik Universitas Ibn Khaldun, Bogor. Beliaulah yang namanya Ali Audah !!!


Duh betapa malunya hati ini jika bertemu dengan Ali Audah itu. Betapa malunya diri ini yang selalu cepat putus asa ketika mendapat persoalan biasa.


Ketika itu, saya seolah dicambuk habis-habisan. Saya merasa ditendang, didorong, ditempeleng, disiksa mati-matian oleh Pak Endang. Pendengaran saya tiada lagi mendengar suara lain selain halusinasi Pak Endang yang terus memaki saya. Saya mengaca akan diri sendiri yang memang hina dimata Pak Endang bila dibanding dengan bapak Ali Audah yang kondisinya sangat jauh dari saya. Ali Audah sangat jauh dari saya, jauhnya sangat kontradiktif sekali. Beliau tidak pernah sekolah, apalagi kuliyah. Sementara saya seorang mahasiswa, seorang anak kuliyahan. Ali Audah amat luas pengetahuannya dan sangat dalam ilmunya, sementara saya amat bodoh, bahasa luar saja, satupun tidak bisa. Jelas sekali... saya kini hanyalah seongok manusia hina yang bergaya hilir mudik di kampus megah, berjaskan almamater universitas, yang otaknya kosong melompong, kalah oleh orang yang tidak pernah duduk dibangku sekolah SD sama sekali......


Namun saya sadar juga... mungkin jika saya sekarang ditunjukkan untuk mengaca diri kepada Ali Audah, kemudian saya hanya menjadi orang menyesal dan diam saja dalam jiwa kalah penuh keputus asaan, bagaimana jadinya jika nanti saya ketemu dengan Pak Endang di hari kemudian yang sedang berdiri dihadapan saya yang tertunduk malu.... tiada jauh Pak Endang pasti akan meludahi saya. Tiada kata yang keluar dari hati suci Pak Endang selain sebuah tutur kata yang menghinakan. Dia Mungkin akan bergandengan dengan bapak Ali Audah sambil berkata kepada saya, kepada para mahasiswa yang tidak berguna titel-titelnya bagi kemajuan Bangsa dan Agama... "Itukah yang kalian dulu banggakan..??? Almamater itukah yang menjadi kebanggaan kalian..??? Mana lebihnya nilai mahasiswa dan gelar sarjana kalian, dibanding saya yang tidak sekolah...???"

Sekarang saya sedang menata diri... sebisa mungkin meminimalisir ketinggalan dari kondisi yang dilewati Ali Audah dan Endang Saefuddin Anshari. Guru saya sekarang dua orang itu. Satu seperti kaca cermin dalam mobil yang mengingatkan saya untuk selalu memperhatikan bagian sisi kanan, belakang dan depan mobil saya, sementara satunya lagi seperti kompas dan peta GPS yang terus menuntun saya, mengarahkan saya ke arah mana saya harus menjalankan mobil penalaran ini.

Begitulah besarnya pengaruh dua sosok guru saya itu. Mereka amat berguna bagi saya, meskipun saya tidak pernah bertemu dengan keduanya, walaupun saya tidak mengenal wajahnya, namun lewat goresan pena keduanya, saya terus berjalan penuh usaha memaknai hidup yang diamanahkan....

Semoga saya dan pembaca sekalian dapat mengambil ibrah dari kedua guru saya ini, sehingga mudah-mudahan kita tidak menjadi orang yang tertunduk malu ketika dipersatukan dengan keduanya...Amien..!!!!
***(/pungs)

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.