Berdakwah lewat sistem aflikatif atau aturan peraturan kepemerintahan



FPI merupakan sebuah ormas islam yg seringkali aksinya menimbulkan pro dan kontra bagi yang coba menilainya. Hal itu wajar saja karena di satu sisi memang sebuah ormas semisal FPI ini tidak memiliki wewenang memberi hukuman seperti yg dimiliki oleh pemerintah. Sementara di sisi lain kondisi pemerintah sendiri yg memiliki wewenang menegakkan 'amar ma'ruf nahi munkar itu sendi banyak lamban dan terkadang kelihatan acuh tak acuh, sehingga menimbulkan dorongan bagi orang yg sudah kesal melihat kebiasaan itu untuk bertindak main hakim sendiri.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mengkeritisi kebijakan dakwah organisasi FPI, melainkan mencoba mengambil pelajaran dari phenomena yang berkembang itu.

Dari phenomena itu setidaknya kita dapat memahami bahwa memang ada dua segmen dakwah yang bisa kita jalankan; dakwah dengan ajakan yang mengedepankan usaha edukatif dan penyadaran (semisal kegiatan yg dilakukan ormas), dan dakwah yang caranya dengan menjadikan kebaikan bersama sebagai yang utama dan dikuatkan dengan peraturan pemerintah yang berimplikasi pada hukuman bagi yang melanggarnya (dakwah dalam wajah kepemerintahan). Itulah kira2 yang pernah kami utarakan dulu di halam ini saat menghayati ayat "waltakum minkum ummatun... al-aayah".

Kondisi kebiasaan dua organisi ini (ormas dan pemerintah) baik fungsi maupun kedudukannya mesti kita pahami betul agar kita bisa menselaraskan aksi dan amal kita sesuai posisi yang dipijak. Misalnya saja kita tetap tidak bisa dan tidak boleh merumuskan perundang2an yang memaksa orang yg tdk beragama Islam untuk menjadi muslim, meskipun kita berada dalam ruang lingkup pemerintah, karena segmen aqidah (atau istilah khair dalam ayat di atas) bukan berada dalam wilayah yg boleh dipaksakan tapi harus dengan ajakan yg sifatnya tidak memaksa (dlm ayat di atas istilahnya yad'u atau seruan). Sementara kebiasaan baik pada suatu suku yg sudah menjadi tradisi dan etika yg tidak melanggar agama, harus diberlakukan hukum positif agar kebiasaan itu tidak terganti oleh kebiasaan jelek.

Kita dapat menyaksikan kultur budaya yg baik dan sarat untuk dimiliki oleh kita karena mencerminkan bukti amal ajaran agama kita, ternya sedikit demi sedikit hilang disebabkan undang2 yang semestinya menjadi filter penjaga kelestarian kultur baik itu, tidak ada dan siapapun yg melanggarnya tidak bakalan dapat sangsi atau hukuman. Wal hasil, budaya asing meskipun jahiliah dengan mudahnya dapat menggantikan posisi kultur itu.

Para aparat pemerintah tentu tahu peran peraturan perundang2an seperti yg dijelaskan tadi, karena peran peraturan pemerintahan itu sudah dijabarkan juga dalam alQur'an selaku kitab agama mayoritas aparat pemerintah kita, maupun dalam karya Sokrates yang merumuskan metode kenegaran yg jadi rujukan utama banyak kalangan. Yang jadi titik pembeda dalam menyikapi harus atau tidaknya sesuatu perbuatan itu diberi sangsi adalah dalam sikap memandang persoalan2 urgensinya hal itu dilakukan.

Dengan begitu, tak ayal lagi bahwa, selain kita memang sudah diberi perintah secara jelas menjalan kan dakwah secara sistem pemerintahan, yakni melalui kekuasaan negara, ajaran islam yang amat teliti dalam memperhatikan norma2 positif ataupun negatif juga merupakan cara terbaik bagi sebuah negara untuk membina masyarakatnya agar berada tetap dalam posisi jalur kemanusiannya, tanpa perlu lagi orang islam yang menyadari pentingnya semua itu melanggar wewenang organisasi yg berlaku.

Kedua bentuk dan wewenang organisasi dakwah itu tidak bisa kita pilih dan mengambil satu dan meninggalkan yang lainnya melainkan kedua2nya mesti berjalan seiringan. Bagaimanapun gigihnya umat islam zaman orde baru dan lama melakukan dakwah dengan gerakan yg hanya memiliki wewenang yad'u, dengan mudahnya hasilnya dapat disapu dengan mudah oleh budaya luar yang bertentangan dgn agama, karena usaha dakwahnya tidak mendapat dukungan hukum positif pemerintah. Begitu juga pemerintah yg hampa akan usaha dakwah yad'u akan tumbuh menjadi negara tak beradab dan lemah karena aqidah dan pendidikannya tak berjalan. Keduanya adalah dua mata rantai yang tidak bisa dipisahkan dan harus selalu dijalankan usahanya oleh setiap individu muslim sesuai kemampuannya, demi menjaga keseimbangan hidup manusia dalam kemanusiaannya selama iya hidup bermasyarakat.

Wallahu a'lam!

Penulis hanyalah orang yang belajar menuliskan buah fikir dan bacanya. Oleh karenanya tulisan ini tidak luput dari salah dan kurang.

Salam dakwah

Purnawarman




****
Sumber Photo: http://matanews.com/wp-content/uploads/FPI100127-7.jpg

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.