Sejarah Munculnya Kesadaran Sufisme Dalam Perspektif Mohammad Iqbal

Ketika kita mencari akar sejarah dari mana asalnya kemunculan tasawuf ini, maka saat itu kita mendapati banyak pendapat yang diuraikan oleh para orintalis yang katanya berusaha mendalami hal-hal ini secara objektif. Misalnya saja, Von Kremer dan Dozy yang menganggap bahwa Sufisme Persia berasal dari Vedanta India; Merx dan Nicholson yang menganggapnya sebagai berasal dari Neo-Platonisme; sedangkan Prof. Browne sekali waktu menganggapnya sebagai reaksi Arya terhadap agama Semit yang tak beremosi. (Lihat Iqbal, 1992: 85)

Banyaknya karya orientalis yang mengupas sufisme dalam Islam, sehingga sedikit banyaknya telah mempengaruhi sebagian besar sudut pandang para cendikiawan Islam saat ini. Berbagai argument seringkali didasarkan pada penilaian yang diberikan oleh para orientalis, yang dibalik semua hasil penelitian para orientalis itu, metode penelitian dan pemaknaannya berdasar pada filosofi yang diyakininya padahal belum tentu filosofi berfikirnya itu benar-benar dapat diterapkan pada satu objek kajian yang dihadapinya. Oleh karenanya, mestilah ada sebuah alternative jalan penyelesaian yang komprehensif dalam menemukan sebuah keputusan logis dari objek kajian yang dimaksudkan.

Mohammad Iqbal, seorang intelektual Muslim abad 20 yang berasal dari belahan India (yang sekarang Pakistan), sangat menyadari hal ini. Sehingga dia mengkritik pedas kebiasaan para orientalis yang banyak memberikan pemahaman yang menyesatkan itu. Menurut Iqbal, tidaklah benar memahami munculnya tasawuf semata-mata atas pengaruh yang ditimbulkan dari luar. Padahal fakta fundamental yang berlaku adalah “pikiran manusia mempunyai suatu individualitas yang mandiri, dan dengan membangkitkan inisiatifnya sendiri, secara bertahap dapat berkembang dari dirinya, kebenaran-kebenaran yang bisa diantisipasikan oleh pikiran-pikiran lain bertahun-tahun yang lalu.” Untuk mendapatkan sebuah gambaran dan pemahaman utuh terkait suatu phenomena yang terjadi disuatu tempat, dengan fakta fundamental itu, kita mesti menyadari bahwasannya “tak ada ide yang dapat menangkap jiwa suatu bangsa, kecuali dalam arti ide itu adalah milik bangsa itu sendiri. Pengaruh-pengaruh luar kiranya [hanyalah] membangkitkannya dari ketidaksadarannya yang dalam.” Dengan kata lain, “pengaruh-pengaruh itu, bisa dikatakan, tidak dapat menciptakannya dari ketiadaan.”(ibid)

Jika kita berkehendak untuk mengetahui dari mana asal kemunculan tasawuf ini, lanjut Iqbal, janganlah kita ikut menapaki jalan para orientalis yang mendasarkan atas teori-teori yang “dibuat di bawah pengaruh suatu paham kausalitas yang pada dasarnya adalah palsu.” Untuk menghindari hal itu, lanjut Iqbal, setidaknya ada enam factor yang mesti kita fahami terlebih dahulu sebagai latar belakang keadaan yang memang mendorong dan mempengaruhi kemunculannya ilmu tasawuf di sekitar penghujung abad ke-8 dan paruh pertama abad ke-9. Enam paktor itu antara lain:
  1. Bilamana kita mempelajari sejarah masa itu, kita menemukannya sebagai suatu masa yang lebih kurang diwarnai keresahan politik. Paruh kedua abad ke-8, di samping revolusi politik yang mengakibatkan jatuhnya Umayyah (tahun 749 M.), penganiayaan terhadap para Zendik, pemberontakan kaum mustajilah Persia (Sindbah 755-756; Ustadhis 766-768; nabi berselubung dari Khurasan 777-778M.) yang, dengan memanfaatkan kepercayaan rakyat, menyelubungi … proyek-proyek politik, di bawah kedok ide-ide keagamaan. Selanjutnya, pada permulaan abad ke-9, kita menemukan putra-putra harun (Ma’mun dan Amin) terlibat dalam suatu konplik; dan kemudian lagi kita melihat zaman keemasan literature Islam yang sangat terganggu oleh pem-berontakan-berkepanjangan Babak yang beraliran Mazdak (816-838 M.). Tahun-tahun permulaan kekuasaan Ma’mun menimbulkan fenomena social lain yang besar arti politiknya, yaitu perbedaan pendapat Syu’ubiyyah (815 M.), yang berkembang seiring dengan muncul dan berdirinya keluarga-keluarga Persia yang mandiri, seperti Tahirit (820 M.), Saffarid (868 M.), dan Dinasti Samanid (874 M.). Karena itu, paduan kekuatan-kekuatan ini dan kondisi-kondisi lain yang serupa sifatnya yang telah ikut mengarahkan semangat pengabdian, dari arena keresahan yang berkepanjangan, ke suasana damai bahagia dari suatu kehidupan bertafakur yang senantiasa mendalam. Watak Semitis kehidupan dan pemikiran zahid-zahid Muslim awal ini berangsur-angsur diikuti oleh panteisme yang sedikit banyak berwarna Arya, yang perkembangannya sebenarnya berjalan sejaajr dengan kemerdekaan politik Persia yang bergerak maju secara perlahan.
  2. Kecenderungan skepsits Rasionalisme Islam yang menemukan pernyataan awal dalam puisi Basysyar ibn Burn, penganut skeptisme Persia yang buta, yang menyembah api, dan mencemooh semua bentuk pemikiran non-Persia. Benih-benih yang Skeptisme yang tersembunyi dalam Rasionalisme pada akhirnya mengundang suatu sumber-superintelektual pengetahuan yang menyatakan dirinya di dalam Risalat al-Qusyairi (986 M.).
  3. Kesalehan tanpa emosi dari berbagai mazhab Islam, seperti mazhab Hanafi (Abu Hanifah, meninggal tahun 767 M.), mazhab Syafi’i (Al-Syafi’i meninggal tahun 829 M.), mazhab Maliki (Al-Maliki, meninggal tahun 795 M.), dan mazhab Hambali yang antropomorfis (Ibn Hambal, meninggal tahun 855 M.) –musuh tersengit pemikiran bebas – yang menguasai umat sesuadah wafatnya Al-Ma’mun.
  4. Perdebatan keagamaan di antara para wakil berbagai kredo dikobarkan oleh Al-Ma’mun. terutama perbedaan pendapat mengenai teologi yang sengit antara Asy’ari dan para pendukung Rasionalisme yang cenderung tidak hanya mengurung agama di dalam batas-batas sempit mazhab, tetapi juga merangsang mencuatnya pertengkaran sectarian.
  5. Pelembutan-berangsur semangat keagamaan disebabkan oleh kecenderungan rasionalistis pada periode awal Abbasiyah, dan tumbuh cepatnya kekayaan yang cenderung menghasilkan kemerosotan moral dan pengabaian terhadapa kehidupan beragama di lapisan atas Islam.
  6. Hadirnya agama Kristen sebagai suatu ideal praktis kehidupan. Pada pokoknya kehidupan actual rahib Kristen, bukannya ide-ide agamanya, yang sangat melukai “orang-orang suci” Islamawal yang pengabaiannya terhdap dunia, menurut keyakinan saya, benar-benar bertentangan dengan semangat Islam. (Ibid, 1992: 86-87)

Dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terjadi disekitar tumbuhnya sufisme di atas, jelaslah bahwa factor yang menjadi penyebab kemunculannya tasawuf bukan atas dasar pengkajian terhadap ajaran-ajaran eksternal semata, melainkan tumbuh dari dalam diri ummat Islam, seiring dengan penyebarluasan Islam yang tumbuh dan berkembang tanpa batas teroterial. Dan seperti Iqbal tuturkan, di bawah pengaruh Dzu’n-Nun al-Misry, Sufisme mulai mengalami sistematisasi dan menjadi semakin mendalam dan anti skolastis yang bertentangan dengan intelektualisme kering Asy’ari. (Ibid, 1992: 65)

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.