Apa Itu Tasawuf?

Secara bahasa, banyak sekali pendapat berbeda dari para ulama Islam maupun para orientalis dalam memberikan definisi bahasa isi, terlebih dalam memaparkan dari mana asalnya akar kata tasawuf ini. Karena tasawuf merupakan disiplin ilmu yang datang dari perkembangan Islam, untuk kesempatan kali ini, marilah kita telusuri makna tasawuf ini dari sudut pandang orang Islam yang memang mendalami ilmu tasawuf itu sendiri, agar apa yang kita pahami merupakan pemahaman yang utuh sesuai dengan yang dimaksudkan ilmu tasawuf itu sendiri.

Ulama Islam yang consent terhadap ilmu ini, salahsatunya adalah imam al-Qusyairi (W. 465H/1073M.). Dengan karyanya yang mendalam terkait pendeskripsian ilmu tasawuf, Risalah al-Qusyairiyyah-pun menjadi rujukan utama bagi para ilmuan muslim maupun orientalis saat menelusuri hakikat mendasar dari ilmu ini. Imam al-Qusyairi dalam hal ini membantah pendapat-pendapat yang tidak mendasar baik dari sisi penyandaran akar kata, maupun makna yang bertolak belakang dengan yang dimaksudkan sesungguhnya oleh para sufi. Berikut bantahan-bantahan imam Qusyairyy terhadap pendapat-pendapat yang melenceng dari makna dan eksistensi dari tasawuf yang sesungguhnya:
“… ucapan yang mengatakan, ‘ini dari bahan wol (shuf)’, jika kata itu diambil dari kata tashawwafa. Artinya, memakai baju wol, sebagaimana kata taqammasha (dari kata qamis) yang berarti memakai baju gamis. Ini dari satu sisi [saja karena] orang-orang Arab tidak mengkhususkan makna tashawwafa dengan ‘mengenakan pakaian wol’. Ada yang mengatakan ‘mereka (mutashawwifah) adalah orang-orang yang dinisbatkan pada sifat masjid Rasulullah saw. padahal penisbatan pada sifat ini bukan untuk para sufi.’ Sedangkan pendapat yang mengatakan, kata tashawwuf itu diambil dari kata ash-shaofa yang berarti ketulusan, kata-kata ini sangatlah jauh jika ditinjau dari pecahan kata asli menurut bahasa Arab. Ada orang yang yang mengatakan tashawwuf berasal dari kata shaff (barisan) terdepan di hadapan Allah karena ketulusan hatinya, makna ini memang benar, namun dari segi bahasa tidak sesuai dengan penisbatan pada kata shaff.”
(Al-Qusyairi, 2002: 415)


Pengambilan makna tasawuf seperti semuanya itu sebenarnya kurang tepat karena dalam pandangan Imam al-Qusyairi makna yang seutuhnya dari kata ini adalah sebagai berikut:
“Nama ini (tasawuf) telah melekat pada kelompok ini, sehingga dikatakan, dia seorang sufi. Jika kelompok mereka itu Shufiyah (orang-orang sufi), maka jika seseorang telah mencapai nama ini, dia itu disebut mutashawwif. Bentuk pluralnya mutashawwifah. Nama ini menurut bahasa Arab bukan termasuk kias atau istiqaq (kata pecahan atau jadian). Nama ini semacam julukan.” (ibid)


Dengan demikian, saat istilah tasawuf kita perbincangkan, maka makna yang dimaksudkan dari istilah itu jangan difahami sebagai pecahan-pecahan dari akar kata lagi, melainkan semata-mata menjadi sesuatu keutuhan dari ilmu tasawuf itu sendiri. Hal ini mesti dilakukan karena tasawuf sekarang, dalam perkembangan bahasa, bukan lagi sebagai kiasan atau kata pecahan dari yang lainnya, melainkan sebuah nama, sebuah julukan. Dengan kata lain, kata tasawuf atau sufi tidak ada bedanya dengan kata professor, faqih, atau ulama, yang semuanya memiliki criteria dari sifat-sifat yang dimilikinya.

Namun titik tekan yang terkandung dari penjelasan al-Qusyairi di atas hanyalah pada posisi dan kedudukan istilah tasawuf. Sementara jika mendeskripsikan sebuah istilah hanya berbentuk seperti ini, tentu akan banyak orang yang masih bertanya-tanya, berhubung belum terakomodasinya sebuah rangkaisan penjelasan yang sepenuhnya menggambarkan hakikat dari yang diuraikan. Untuk itu, karena tasawuf adalah kedudukan yang apabila orang menduduki kedudukan itu mendapat julukan, maka hanya sifat-sifat orang yang menduduki kedudukan itulah yang menjadi deskripsi dari istilah julukan itu. Oleh karenanya, imam alQusyairi dalam memaparkan penjelasan kata tasawuf tidak lah melalui metode definitive, melainkan menghimpun berbagai penjelasan dari para pemuka tasawuf terkait penjelasan mereka terhadap kata tasawuf itu sendiri.

Ada beberapa kemungkinan yang dapat penulis cermati dari al-Qusyairi terkait hal ini. Pertama, karena ini memang merupakan ciri khas dari metode dan gaya penulisan dari al-Qusyairi. Dan Kedua, al-Qusyairi hendak memberikan gambaran yang utuh terkait pemaknaan tasawuf sehingga, dengan metode kodifikasi semua pendapat para pemuka tasawuf, para pembaca tidak lagi terjebak pada pemahaman tasawuf secara parsial, yang memang jika itu yang dilakukan oleh pembaca dikhawatirkan akan mendapat pemaknaan yang tidak semestinya terhadap tasawuf.

Jika unsur yang kedua yang jadi acuan al-Qusyairi dalam menuliskan makna tasawuf ini, alangkah besarnya jasa beliau dalam memberikan gambaran yang utuh bagi siapa saja yang hendak memahami eksistensi tasawuf. Hal itu menjadi amat besar maknanya, Karena kita tahu, jikalau seseorang yang awam pada tasawuf kemudian hanya membaca tasawuf dari satu orang semata, kita dapat memperhatikan bagaimana mudahnya mereka memberi kesimpulan yang tidak semestinya dan tidak pada tempatnya, atau bahkan mengikuti langkah sufi yang dibacanya tanpa pertimbangan matang hingga berujung pada arah kesesatan. Dengan memposisikan diri sebagai orang yang mengkodifikasi, yang tentunya juga ditunjang dengan kejelian beliau dalam menyimpan sebuah fatwa pada tempat dan makna fatwa itu dimaksudkan oleh yang memfatwakan, al-Qusyairi berhasil dalam memberikan gambaran yang utuh dari tasawuf itu sendiri.

Setelah penulis mengamati beragam fatwa dari para pemuka tasawuf yang dikutip oleh al-Qusyairi, selintas antara fatwa dari pemuka yang satu saling bertentangan dengan fatwa dari pemuka tasawuf yang lainnya. Namun jika kita memposisikan pola nalar kita pada Islam yang sesungguhnya mencakup aspek-aspek kehidupan, peribadatan, ketauhidan dan pemikiran mendasar, yang kesemuanya itu mewarnai pergolakan dari para sufi, penulis pun pada akhirnya dapat menyadari sedikit makna yang terkandung dalam pemaparan alQusyairi itu. Jika kita hendak mengambil sebuah kesimpulan sederhana dari penjelasan-penjelasan yang dihimpun oleh alQusyairi itu, maka tasawuf itu bermakna sebagai disiplin ilmu yang dimaksudkan untuk mendalami, menghayati, dan menjalankan sepenuhnya ajaran Islam, dalam setiap prilaku sehari-hari, peribadatan, ketauhidan dan filsafat. Dengan begitu, teranglah bagi kita, bahwa tasawuf pada dasarnya memang merupakan sebuah ikhtiar dari kaum muslimin dalam merealisasikan sifat ihsan dalam serba kehidupannya.

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.