Diskriminasi Kemiskinan

Beberapa waktu terakhir ini saya cukup gerah dengan berbagai isu yang selalu menyangkut-pautkan persoalan-persoalan kekerasan, anarkis, perampokan dan perlakuan deglarasi moral masyarakat yang lainnya dengan kemiskinan. Kemiskinan dewasa ini selalu dijadikan isu sentral bagi terciptanya perilaku amoral baik oleh para birokrat maupun aktifis yang memprotes kebijakan dan kelambanan kinerja para birokrat pemerintahan.

 Pemerintah selalu mengambil metode hitungan matematis yang bersifat materil dalam menyelesaikan masalah. Ketika pemerintah berkehendak menyelesaikan persoalan kinerja dan loyalias yang masih minim dan negative baik dari para Guru maupun para pegawai negeri sipil (PNS) lainnya, selalu yang diiming-imingkan kepada mereka adalah kenaikan gaji dan tunjangannya. Para LSM juga selalu mengusung kemiskinan sebagai penyebab pokok timbulnya kekerasan, pelacuran, perampokan, saat mendesak pemerintah menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.

Para aktivis dan birokrat yang tengah melancarkan propaganda besar-besaran dan menjadikan situasi kemiskinan sebagai alasan utamanya itu, mungkin saja niat awalnya baik, ingin mengangkat harkat serta martabat masyarakat yang masih berada di garis kemiskinan supaya diperhatikan lebih oleh pemerintah hingga mereka bisa keluar dari garis tersebut. Namun jika semua isu yang dilancarkan dalam mengkritik pemerintahan secara massif hampir semuanya disudutkan pada persoalan kemiskinan, dan kemiskinan dipandang sebagai faktor utama bagi timbulnya perilaku kekerasan (teroris), perjinahan, perampokan, dan sebagainya itu, maka saya mengkhawatirkan perilaku semisal ini malah ujungnya hanya akan menumbuhkan stigma negative bagi masyarakat miskin itu sendiri.

Jujur saja saya merasa gerah dan marah saat kemiskinan terus-terusan selalu dikutif sebagai posisi penyebab dan pemicu kekerasan. Ini lantaran seakan-akan orang miskinlah yang memiliki otoritas bagi terciptanya kekerasan dan anarki yang timbul di tengah masyarakat. Orang yang tengah mengalami nasib miskinlah yang patut dicurigai akan bertingkah merampok, menjadi teroris, menjadi PSK, dan perlakuan miring lainnya. Padahal jika kita memakai cara berfikir dengan analisa perbandingan dan menilai realitas yang ada secara langsung di lapangan, justru lebih banyak para perampok yang hidup bergelimang harta ketimbang yang hidupnya serba pas-pasan atau miskin. Para pemuda yang tersandung kasus narkoba dan terlibat dalam geng motor, misalnya, pun lebih banyak dari kalangan mampu dan kaya ketimbang yang miskin.

Dalam teori sosiologi, kemiskinan akan berakibat keresahan jika terjadi dalam situasi yang berhadapan secara kontras dengan kemewahan. Kedudukan inilah yang mengantarkan Daniel Lerner dianggap sebagai bapak modernisasi dan sekaligus harus mencabut teorinya beberapa tahun kemudian. Menurut Lerner teknologi modern akan mengubah masyarakat tradisional kearah modern sebab, media massa akan berdiri sebagai pembimbing masyarakat tradisional menuju masyarakat modern dan kemiskinan menjadi kemakmuran. Setelah sepuluh tahun penulisan bukunya, akhirnya dia dipaksa harus mencabut dan merevisi ulang teorinya. Hal ini terjadi lantaran, apa yang jadi kenyataan ternyata malah sebaliknya. Media massa ternyata malah merupakan penyebab terjadinya ekspektasi orang-orang miskin. Lewat media, orang-orang miskin menyaksikan kehidupan yang mempesonakan mereka. Mereka ingin meniru kehidupan seperti itu sementara keadaan pemerintah sendiri tidak dapat memenuhi kebutuhan itu, dan pada akhirnya mereka frustasi. Dalam penuturan Jalaluddin Rahmat, keresahan ini oleh para ilmuwan sosial digambarkan dengan istilah “deprivation”. Dari sifat keresahan ini rentan sekali kaitannya dengan keresahan sosial (social unrest), yang pada akhirnya berujung pada disintegrasi social.(Lihat. Jalaluddin Rakhmat, 2004: 232-233) Jika kemiskinan muncul dalam situasi demikianlah (bukan semua bentuk kemiskinan) maka yang terjadi dalam hubungan kehidupan sosial adalah kekacauan.

Mengentaskan kemiskinan sebetulnya sudah wajib dilakukan oleh semua elemen masyarakat dan pemerintahan Indonesia, terlepas dari ekses timbulnya kekerasan dan kekacauan dalam kehidupan masyarakat atau tidak, karena pekerjaan itu adalah poin utama yang dirumuskan dalam Pancasila. Timbulnya kekerasan dan kekacauan di tengah masyarakat sendiri faktor utamanya adalah bobroknya sifat moralitas masyarakat, sementara kemiskinan adalah faktor penunjang dari situasi itu. Dengan demikian, langkah utama untuk meredam gejolak timbulnya kekerasan, perampokan, perzinahan (PSK), dsb., adalah dengan memberikan pendidikan moral kepada masyarakat yang baik, karena semua itu adalah ekses dari kemiskinan moral yang tengah dialami oleh mereka.

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.