Kolom Agama Bukan Sekedar Ada atau Kosongnya Kolom

Dari semenjak musim kampanye PEMILU 2014 hingga terpilihnya sejumlah orang untuk mengisi kursi jabatan pemerintahan,  isu tentang kolom agama dalam kartu kependudukan (KTP) masih terus bergulir. Isu yang pertama kali digulirkan oleh kalangan liberal dan sekular ini masih terus menuai pro dan kontra, baik di kalangan masyarakat bawah, maupun di kalangan pemerintah sendiri. Kalangan liberal dan sekular dengan isu kolom agamanya dari semenjak musim kampanye itu nampaknya tidak sekedar bermain wacana, atau untuk menarik sorotan dan perhatian semata, mereka kali ini terlihat serius benar-benar ingin mewujudkan isunya tersebut. Terbukti dengan berhasilnya mereka menduduki kursi jabatan tertinggi pemerintahan sekarang ini, isu tersebut terus mereka bahas, baik oleh pejabat yang berwenang dan terkait langsung dengan persoalan tersebut (dalam hal ini MENDAGRI) maupun oleh elemen-elemen lainnya.

Tidaklah heran apabila kemudian persoalan ini berbuntut panjang. Pasalnya, persoalan agama di negara yang berketuhanan, seperti Indonesia, akan melibatkan perudang-undangan dan asas filosofinya. Adanya keinginan dan upaya untuk mengosongkan kolom agama dalam kartu kependudukan adalah bentuk representasi dari rasa perlawanan dan upaya pemberontakan terhadap undang-undang dan filosofi negara. Persoalan kolom agama bagi bangsa Indonesia bukan hanya sekedar ada atau tidaknya. Ia adalah cerminan dari filosofi dan perundang-undangan itu sendiri. 

Adanya batasan agama mana saja yang sah diakui oleh negara dalam perundang-undangannya tentu saja bukan buah dari usaha sederhana dalam upaya penetapannya. Sama halnya dengan persoalan antara mengakui komunisme atau menolaknya, mengakui NASAKOM atau menolaknya, adalah cerminan dari menetapkan negara berketuhanan atau tidak. Semua itu adalah berkat usaha perdebatan, diskusi, dan musyawarah yang panjang terkait kita dan para pounding father kita dalam menyikapi perjalanan dan perjuangan mendirikan bangsa ini.

Keterdesakan kalangan liberalis dan ateis sekularis pada akhirnya mundur sedikit dari upayanya itu dengan meluncurkan isu bukan menghilangkan kolom agama, namun hendak meniadakan kolom agama bagi yang menganut agama di luar enam agama yang diakui negara, sementara yang beragamakan enam agama yang diakui tetap agamanya tercantum KTP. Akan tetapi persoalannya kemudian, jika hal itu terjadi adalah, kebijakan dan peraturan khusus apa yang telah negara kita gariskan untuk menaungi dan mengakomodasi masyarakat yang mengosongkan kolom agamanya? Hal ini tentu bukan mencari-cari persoalan baru sebab persoalan kebijakan khusus yang membedakan sesuatu dari yang lainnya tentu harus didukung dan dinaungi oleh peraturan yang khusus pula. Kalau hanya sekedar mencantumkan dan tidak tanpa ada aturan lain yang membedakannya di mata hukum, buat kami hal itu hanyalah pemborosan pemikiran dan pekerjaan yang tidak ada dampak signifikan buat keberlangsungan hidup bernegara kita. 

Dan persoalan berikutnya tentu saja kami berhak untuk bertanya, kalau ada dibolehkan kebijakan khusus bagi suatu kelompok tertentu, kenapa di saat ummat Islam menghendaki adanya kekhususan agar mereka diberi kewenangan menegakkan syari'at Islam, dalam Piagam Jakarta, mereka-mereka yang mengajukan pengosongan kolom agama dari KTP ini malah menolaknya?
 

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.