Aku Pun Merasa Tak Pantas

Ketika rasa ini mulai tumbuh dalam gumpalan hatiku, akar-akarnya menghujam kuat ke dasar palungnya dan ujung kuncupnya melebar jadi dedaunan yang rimbun ke permukaan mata dan logikaku, aku hanya sanggup menyiramnya di kala subuh hari agar orang lain tak mampu melihat aku menyiramnya. Aku pendam sekuat tanah mengubur jasad-jasad tak bernyawa hingga tak lagi tercium baunya.

Meski sesak menahan rasa yang tumbuh semakin kokoh dan kuat mendorong benteng pertahananku, sebisa mugkin aku pertahankan begitu adanya. Aku tak kuasa membiarkan rasa ini berbunga diatas pot pelataran hidupku hingga orang lain bisa sebebas mungkin melihat perkembangannya. Aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi, sebab aku merasakan bahwa aku tak pantas memiliki rasa ini. Aku tak pantas memiliki dan memelihara rasa ini. Bukan karena bentuk rasa itu permukaannya jelek.

Bukan lantaran nilai rasa itu terpotret hina. Bukan pula karena rasa itu tak berharga. Bukan! Tapi justru karena rasa itu terlalu indah, nilai rasa itu terlalu istimewa, dan kedudukan rasa itu terlalu bermakna, hingga aku minder memilikinya.

Aku yang dalam menjalani sisa-sisa usia didunia ini tak semulus seperti apa yang kau lalui, aku yang dengan fisik tak menarik ini tertatih-tatih dalam langkah yang tak setegak langkahmu menyusuri jalanan yang datar lagi lurus penuh taqwa dan tawaddu itu, memang tak seharusnya mengidamkan kebahagiaan hidup bersamamu. Aku merasakan bahwa ketidak sekufuan kita itu memang harus menjadi awan hitam yang mampu menutupi keindahan kerlipan bintang dikala purnama tiada. Aku harus membiarkan saja rasa dan keinginan itu tetap terhijab benteng tebal hingga engkau sendiri tak sanggup mengetahuinya.

Namun, nyatanya semakin aku mempertebal benteng rasa ketidak pantasan yang aku fikirkan itu, daya magnetmu malah semakin kuat menarikku. Daya pikatmu semakin besar menarikku hingga azam dan keberanianku malah melupakan semuanya. Rasa itu meronta hebat ingin memperlihatkan mekaran bunganya, ingin mebagikan buahnya. Otak pertimbanganku kini tumpul, dan lisan pun berujar bebas mengutarakan apa yang selama ini kupendam.

Rasa dan pertimbangan terkait ketidak pantasanku memiliki rasa, azam dan keberanian ini, hingga kini pun masih tersemat dalam jiwaku. Dan sesekali hal itu bisa saja menggoyahkan semuanya. Aku terkadang merasa letih, malu dan takkan punya kekuatan melakukannya hingga suara-suara putus asa pun berbisik mengajak aku mengakhiri semuanya. Namun janji yang sempat terucap padamu sewaktu angin malam berhembus kencang menyingkap hijab keelokan bintang hatiku itu, selalu saja kuingat dan kujadikan utang yang harus kulunasi dengan perwujudan hakiki tepat pada waktu yang kuucap.

Semoga ini tidak hanya menjadi sekedar wujud dari ketidak-tau-dirianku yang telah lancang mencintaimu.

Bandung, 05 oktober 2012 01:16

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.