Langkah Alternatif Penyelamatan PEMILU 2014 dan untuk Masa-masa Selanjutnya



Sudah 13 tahun era reformasi ini kita jalani. Roda pemerintahan yang dicanangkan bisa mengalami perbaikan dengan dibersihkannya sistem yang ada dari praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tentu dalam jangka 13 tahun lamanya itu, seharusnya sudah menuai hasil yang signifikan. Namun dalam kenyataannya, kita semua bisa melihat secara kasat mata dan menilai secara mudah bagaimana sebenarnya kondisi pemerintahan yang sedang berjalan dengan pencanangan agenda reformasi itu sendiri. Di sisi lain kita juga bisa menilai bagaimana moralitas yang dimiliki oleh para figur politik kita dari mulai meletusnya agenda reformasi hingga sekarang. Andai kata rakyat Indonesia kini mau mempertimbangkan antara jumlah jiwa yang jadi korban untuk menebus reformasi dan penderitaan yang cukup panjang dari sisi ekonomi yang dialami oleh kita semua akibat resesi reformasi itu sendiri, Kondisi perpolitikan yang kian amburadul dari waktu ke waktu amatlah tidak bisa disalahkan jika masyarakat sekarang bertambah apatis dalam menyikapi perpolitikan ini. Tengok saja kolom-kolom opsi politik di jejaring sosial facebook misalnya.

Pola pemerintahan yang menggunakan sistem demokrasi, yang tentu saja peran aktif masyarakat menjadi penentu keberhasilan atau kehancuran sistem yang diberlakukan itu, dengan kondisi masyarakat yang semakin apatis seharusnya menjadi WARNING penting bagi pihak pemerintah dan para cendikiawannya dalam mencarikan solusi yang terbaik untuk menyelamatkan roda pemerintahan kita ini. Tidak menutup kemungkinan, dengan tumbuhnya sikap acuh tak acuh dari masyarakat terhadap pemerintahannya, money politic dalam PEMILU akan semakin meraja lela, lembaran suara akan semakin banyak yang kosong, atau yang lebih fatalnya lagi jelas sikap ketidak puasan rakyat akan memicu tumbuhnya usaha pemberontakan atau revolusi.

Rakyat Indonesia yang masih mayoritas berkarakter legowo, mungkin akan memberi dulu peluang bagi penguasa yang ada untuk membuktikan usaha perbaikan yang mereka kampanyekan sewaktu pencalonannya. Namun jangan harap sikap legowo itu akan terus ada jika diwaktu kesempatan yang diberikan tersebut malah tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Bagi penulis yang bukan ahli dibidang perpolitikan, dengan memakai kacamata rakyat dan sedikit menggunakan pisau analisa mengakar, setidaknya ada beberapa persoalan yang secara mendesak harus dilakukan untuk menyelamatkan PEMILU ke depan.

Pertama Persoalan cost politik, Acara pemilu diadakan pemerintah tidak dalam kondisi gratiss. APBN yang dianggarkan untuk menjalankan kegiatan ini amatlah besar. Sementara dalam perakteknya, setiap peserta politik yang mendapat kucuran dana (cost politic) dalam menjalankan kampanye namun mereka gagal dalam mendapatkan kursi, pemikiran dan gagasan yang diusungnya pun ikut disingkirkan. Padahal jelas kalau disana ada asfirasi rakyat yang menginginkan ide dan gagasannya diterapkan dalam pemerintahan. Di sana ada biaya pemerintah yang digunakan untuk memeperjuangkan ide dan gagasannya itu. Sistem seperti ini jelas semata hanyalah pemborosan terhadap yang terbuang percuma dan sia-sia. Sistem seperti ini tentu harus dirubah. Azas manfaat harus dijadikan perhitungan mendasar untuk meminimalisir kemubadziran.
Selain itu, azas keadilan dalam mempertimbangkan suara rakyat yang memiliki kehendak yang sama dengan visi, strategi, agenda dan ide dari calon yang dipilihnya pun harus menjadi prioritas. Demokrasi adalah mendengar suara rakyat, dan pemilih calon yang tidak menangpun adalah rakyat, sehingga suaranya harus diperhitungkan dalam kebijakan pemerintah. Dengan demikian, hal yang harus dirubah untuk PEMILU kedepan adalah mengganti sistem dari yang awalnya sosok figur yang dikedepankan, harus berganti menjadi sosok visi, ide, strategi dan agenda pemerintahan yang disusungnya.

Kedua Sistem demokrasi yang hampir tidak ada kendali yang membatasi dan mengayomi, pada akhirnya hanya akan menimbulkan ceos dalam kehidupan bernegara. Masyarakat Indonesia belum semuanya bisa menikmati pendidikan tinggi, bahkan di pelosok-pelosok pedesaan masih banyak masyarakat yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan. Jika mereka dihadapkan pada sodoran pilihan yang sama dengan pilihan mereka yang berpendidikan, Terlebih lagi disamaratakan bobot kualitasnya dengan masyarakat yang ngerti politik, tentulah ini pendzaliman. Persoalan yang harus dihadapkan kepada yang tidak ngerti (awam) politik seharusnya berbeda dengan persoalan yang diberikan kepada mereka yang mengerti. Bukankah Tolol namanya jika kita menyodorkan soal ujian yang sama antara kepada siswa kelas enam SD dengan yang siswa anak TK dengan harapan ingin mendapatkan jawaban yang kualitasnya sama? jika kita cermati bersama, jelas Persoalan ini memang sudah mundur jauh terlalu belakang, melampau masanya Yunani purba yang tetap memiliki sistem pemisah yang jelas dalam berdemokrasi.

Kondisi masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari sifatnya yang majemuk, pada akhirnya mau tidak mau peran badan penyaring yang mampu memfilter asfirasi masyarakat haruslah ada, yang mampu menyaring Antara yang bersifat membahayakan bagi moralitas dan kemakmuran, dengan yang mampu mengantarkan pada peradaban. Badan yang mampu membaca dan menganalisa mana yang harus diterapkan karena sesuai dengan pola hidup berperadaban, dengan yang tidak boleh diterapkan karena membahyakan negara, rakyat, dan masa depan dunia. Sistem politik yang menerapkan keleluasaan rakyat menyampaikan asfirasinya dibutuhkan Dewan Syura yang mampu mengendalikan dan membimbing perkembangan negara dari tangan-tangan kejahilan masyarakatnya sendiri.

Ketiga Partai Politik yang diizinkan oleh pemerintah haruslah partai politik yang bukan parasit.
Partai-partai yang tumbuh berkembang pasca reformasi mayoritasnya bagaikan partai parasit. Mereka baru terdengar dan terlihat setelah waktu kampanye tiba. Mereka di waktu itu seolah sedang menabur bunga wangi, padahal hanya biji-biji parasit yang akan tumbuh selama hidupnya menggerogoti rakyat itu sendiri. Partai-partai seperti ini tidak menyimpan harapan besar bagi kemajuan bangsa dan negara. Pola mereka hanyalah pola kolonial yang mendekati tatkala membutuhkan dan menendang setelah kebutuhan itu terpenuhi.


Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan berkeliaran terus menerus maka tinggal tunggu saja waktu dimana rakyat memutuskan sendiri arah hidupnya, dengan cara kekeerasan atau damai, yang jelas mereka akan meminta haknya.

Sekarang pemerintahan Indonesia tengah mengalami phobia yang berkelanjutan. Terciumnya gelagat rakyat yang sudah bisa membaca kekacauan sistem yang ada dan mau bertindak melakukan perubahan telah membuat pihak berkuasa serba dirungrung kehawatiran jabatan yang dipangkunya digulingkan. Sementara itu mereka bodoh dalam hal mencari solusi, hingga pada akhirnya jalan yang diambil hanyalah membodohi rakyatnya. Disebarkannya fitnah busuk yang menitik tekankan bahwa ruh jihad yang dimiliki dan diajarkan oleh agama anutan mayoritas masyarakatnya itu adalah salah. Diputar balikannya fakta bahwa yang hakikatnya ajaran jihad itu agung, menjadi ajaran sesat yang harus dihindari.

Mereka yang berkuasa sekarang ini adalah mayoritasnya mengaku seorang muslim. Sangat disayangkan memang jika akibat kebodohannya terhadap agamanya sendiri mengakibatkan dirinya memposisikan diri menjadi musuh agamanya sendiri. Padahal banyak alternatif lain untuk mencapai kemajuan, yang Islam sendiri telah rumuskan dan anjurkan untuk kita jalankan.

Sepertinya memang tidaklah sepantasnya apabila sesama muslim menjadi musuh dan saling berperang menumpahkan darah. Namun jika tetap saja tidak ada niat baik dari para pemimpin yang berkuasa, mungkin masa-masa revolusi akan kembali kita hadapi. Semoga kemajuan dan perbaikan tidak sampai membutuhkan darah dan jiwa menjadi saksinya...

Wallahu a'lam...!!

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.