Seharian di Kereta Api

Sejujurnya, meskipun usiaku sudah menginjak kepala 2.5, aku baru sekali ini naik kereta. Kereta yang sempat aku pandang alergi karena seringnya memakan korban kecelakaan, dibayangkan bising saat menaikinya, atau yang aku bayangkan tidak akan pernah nyaman karena roda besinya yang terus bergerak penuh hentakan ke rel yang keras.

Namun tatkala menaikinya, sedikit demi sedikit semua sak wa sangka yang belum pernah dicoba itu bisa terkikis juga oleh keberanian diri mencobanya.

Selama perjalanan, ada beberapa keunikan yang saya takjubi di dalam kereta;

Pertama, Keakraban
hanya dua orang yang saya kenal dalam kereta waktu itu, keponakan dan ayah. Namun meskipun begitu, selama dalam perjalanan menunggangi kereta, dengan jumlah penumpang yang ratuusan orang itu, saya tidak merasa berada dalam dunia minoritas. Saya tidak merasa kesepian. Setiap orang yang kujumpai selalu menyapaku dengan muka yang ramah. Latar belakang suku yang beragam, yang tentu saja membawa budaya bahasa daerahnya masing-masing, tidak menjadi kendala bagi kami untuk berbincang. Seringkali perbincangannya pun tambah lama tambah seru sampai-sampai antara kami semua tidak sadar kalau ternyata sebenarnya kami belum kenal sama sekali sebelumnya.

Angkutan kota (Angkot) penumpangnya hanya sedikit. Jok belakangnya saja hanya muat untuk 7 dan 5. Namun dari sedikit itu jarang sekali kita bertegur sapa antar penumpang. Yang ada kita hanya menghabiskannya dengan melamun atau membaca sesuat. Terkecuali kalau kita berangkatnya dengan teman. Hal itu jauh berbeda kondisinya dengan di Kereta Api.

Di kereta lah saya merasakan betapa pentingnya sebuah bahasa pemersatu antar suku bangsa. Di kereta pula saya merasakan indahnya komunikasi dengan latar belakang manusia yang berbeda-beda.

Kedua, Keramaian
Selain akibat dari bisingnya laju kereta itu sendiri, di kereta juga banyak aneka ragam suara-suara manusia. Para pengamen hilir mudik menyanyikan beragam lagu khas daerah yang di lalui maupun lagu-lagu modern. Begitu juga dengan para penjual makanan dan minuman, mereka tanpa lelah terus pulang pergi silih bergantian menawarkan barang dagangannya. Sepertinya sebuah pasar di manapun tidak bakalan ditemukan keramaian seramai di kereta.

Ketiga, Kereta miniatur negara
Naik dari statsion Kiaracondong saya berkesempatan untuk mendapat tempat duduk. Selain karena waktu berangkat adalah waktu malam yang hanya disinari lampu yang temaram, posisi duduk di kursi membuat jangkauan penglihatan tidak sebebas kita berdiri. letak kursi kereta yang lumayan tinggi telah menghalangi pandangan saya untuk melihat tempat sekitar. Berbeda halnya saat pulang. Statsion Gombong yang bukan statsion pusat pemberhentian, membuat saya harus kebagian berdiri dikarenakan kursi kereta sudah penuh oleh penumpang yang naik dari Jogja.

Saya berdiri menghadap ke tengah gerbong. Betapa terkejutnya saya tatkala mengamati apa yang ada di sana. Corak ragam manusia seakan menyatu di gerbong itu. Dari anak-anak sampai kakek2 dan nenek2 ada di sana. Semua lapisan masyarakat (Kecuali presiden dan mentri-mentrinya) seakan berkumpul di sana. Dari pekerja keras sampai bencong dan pengemis pun ada di sana. Waktu itu saya berfikir, andai saja saya hendak meneliti perkembangan negara Indonesia, kayanya kalau penelitian itu dilakukan di kereta sudah ada jawabannya. Di kereta, beragam corak manusia dan ragam aktifitas dunia tergambar di sana.

Saya pun mencoba mengamati apa yang dilakukan oleh para penumpang di gerbong tempat saya diami apabila adzan kelak berkumandang. Saat waktu adzan Dzuhur dan Ashar sengaja saya tidak langsung shalat karena ada keinginan mengamati itu. Sampai kira-kira jam 4 sore, saya tidak menemukan orang yang shalat kecuali amat sedikit sekali.

Selang 1 atau 2 bulan dari peristiwa naik kereta itu, kemarin-kemarin saya sempat membaca buku Quraish Shihab yang berjudul "Lentera Hati" dan ternyata Quraish Shihab pun merasa prihatin dengan apa yang dilihatnya di kereta, terkait shalat itu.

Islam sebetulnya sudah mempermudah untuk memenuhi ibadah bagi orang yang berada dalam kendaraan maupun sedang bepergian. Waktu dan tatacaranya pun Rasulullah telah mengajarkannya secara detail, namun terkadang dengan sikap ingin apdol dan sempurna seperti waktu biasa, yang oleh Rasulullah pun tidak dikehendakinya, malah membawa mereka untuk berani meninggalkan kewajiban.

Itulah beberapa hikmah yang bisa ku petik dari pengalaman pertamaku menaiki kereta ekonomi

SHARE ON:

Penulis berusaha menulis di blog ini untuk berbagi pengalaman, wawasan, serta pemikiran yang dipandang layak untuk disebar luaskan. Aktivitas sehari-hari penulis aktif sebagai tenaga pengajar piket pada salah satu lembaga pesantren di Kab. Bandung, serta aktif sebagai anggota Komunitas Penulis Islam

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar

Renungan
Ada Konsekuensi logis yang berlaku di setiap permasalahan yang kita ambil. Orang yang sadar akan makna konsekuensi, tindakannya tidak akan lepas dari kontrol pertimbangan yang matang. Setidaknya, tindakannya tidak berakhir dengan penyesalan.
Komentar saudara yang sarat dengan nilai, akan menjadi sumbangan berharga bagi penulis dan pembaca lainnya.